ISLAM DAN MASALAH KENEGARAAN
(Studi
tentang Percaturan dalam Negara)
(Ahmad Syafii Maarif)
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Iskandar Zulkarnaen. MA.
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam
Oleh:
Sappeami 5913033
PROGRAM PASCASARJANA
KONSENTRASI EKONOMI ISLAM
MAGISTER STUDI ISLAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2015
A.
Latar Belakang
Menurut al-Qur’an Islam sudah ada
sebelum Nabi Muhammad saw. ketika Nabi Adam diutus ke dunia, agama Islamiyah
yang dibawanya, Islam adalah agama yang diturunkan Oleh Allah kepada seluruh
umat manusia melalui perantara Rasul pilihan-Nya, Nabi muhammad saw. ajaran ini
bukan sama sekali baru tetapi merupakan kelanjutan dan perumpamaan agama-agama
yang dibawa para Rasul sebelumnya (Q.S al-Anbiya:25).
Al-Quran sendiri tidak mengatur urusan politik secara khusus, tetapi hanya
memerintahkan untuk menegakkan keadilan, kebajikan, memelihara perdamaian dan
ketertiban.
Sistem politik adalah suatu bagian yang pasti ada di setiap Negara sistem
politik sendiri berfungsi sebagai pengatur dan membuat peraturan untuk dipatuhi
oleh seluruh warga negaranya. Politik dan agama adalah sesuatu yang terpisah.
Pembentukan pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar manfaat-manfaat
amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain. Jadi, pembentukan negara modern
didasarkan pada kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar agama.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Taimiyah bahwa Politik atau negara
hanyalah sebagai alat bagi agama bukan suatu ekstensi dari agama.
Pemerintahan yang berlaku pada masa Rasulullah dan khalifah bukanlah
diturunkan Allah dari langit. Wahyu Allah hanya mengarahkan Rasul dan kaum muslimin
untuk menjamin kemaslahatan umum, tanpa merenggut kebebasan mereka untuk
memikirkan usaha-usaha menegakkan kebenaran, kebajikan, dan keadilan.
Islam di Indonesia adalah suatu agama yang hidup dan vital, yang kini
sedang terlibat proses tranformasi dari posisi kuantitas ke posisi kualitas.
Menurut Ahmadi Syafii Maarif dua kata kunci yang harus dipahami dalam mengkaji
hubungan Islam dan Politik yaitu Islam sejarah dan Islam cita-cita.
Islam sejarah yaitu islam
sebagaimana dipahami kedalam konteks sejarah oleh umat Islam dalam jawaban
mereka terhadap tantangan sosial politik dan kultural yang dihadapkan kepada
mereka sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sedangkan Islam cita-cita sebagaimana
yang dikandung dan dilukiskan oleh al-Qur’an dan sunnah otentik dari Nabi
Muhammad saw., tetapi belum tentu senantiasa terefleksi dalam realitas
sosial-historis umat sepanjang abad. Islam cita-cita ini merupakan pendorong
bagai berbagai pendorong sosial-politik Islam sepanjang sejarah.
Sejak 1950 hingga sekitar 1959,
dekade yang dikenal sebagai periode demokrasi konstitusional, Indonesia
beroperasi di bawah UUD 1950. Perdebatan tentang masalah dasar negara
berlangsung dengan sengitnya sampai majelis Konstituante dibubarkan oleh
presiden soekarno pada bulan Juli 1959 dalam usahanya menciptakan suatu tatanan
politik baru yang dikenal dengan sebutan DemokrasiTerpimpin (1959-1965).
Pada saat itu ada tiga rancangan (draft) tentang dasar negara yang diajukan yaitu: Pancasila,
Islam dan Sosial-Ekonomi. Tapi yang terakhir ini, yang diajukan oleh partai
Murba dan partai Buruh hanya didukung oleh sedikit angguta, hingga akhirnya
perdebatan didominasi antara ideologi Islam dan Pancasila.
Akar
perdebatan antara kelompok Islam Politik dan kelompok Nasionalis-Sekular
bersumber dari masa sebelum kemerdekaan. Perdebatan antara Natsir dan Soekarno
pada tahun 1930-1940 tentang hubungan antara negara dan agama berlanjut hingga
sidang BPUPKI. Perdebatan dalam sidang BPUPKI antara kelompok yang mengajukan
argumen bahwa Indonesia sebagai negara sebaiknya mengacu pada ideologi
kebangsaan, dan kelompok yang mengajukan Islam sebagai dasar negara. Perdebatan
antara kedua kubu tersebut dalam sidang BPUPKI akhirnya diselesaikan dengan
“Piagam Jakarta”. Perdebatan tersebut merupaka
suatu problem dalam suatu negara yang harus diketahui oleh masyarakat Indonesia
pada umumnya.
Alasan utama Ahmad Syafii Maarif melakukan studi ini karena belum adanya
studi yang lengkap tentang masalah dasar negara, sehingga ia mengaharapkan
dengan pengkajian studi yang dilakukan dapat memberikan kejelasan tentang watak
dan arti Islam dalam sejarah moderen Indonesia, terutama dalam hubungannya
dengan perkembangan dan perubahan politik di negeri ini. Dan juga mayorotas
bangsa Indonesia belum memahami betul arti Islam bagi manusia, baik untuk
kehidupan individu maupun kehidupan kolektif.
Untuk lebih memperdalam pengetahuan mengenai Islam dan masalah kenegaraan
khususnya percaturan dalam konstituante penulis melakukan penelitian kembali
tentang masalah ini. Penulis termotivasi dengan ucapan Syafii Maarif yang
mengatakan “Karena
kesadaran akan pentingnya menutup jurang antar islam sejarah dan islam pada
masa moderen, maka intensitas kegiatan dakwah islam semakin disemangatkan dan
semakin meluas, terutama dikalangan anak muda Indonesia dan dalam beberapa
kasus juga dikalangan kelompok-kelompok etis cina, suatu gejala yang sangat
menarik untuk diamati lebih jauh”.Maka dengan penelitian ini penulis menginginkan
adanya kesadaran bagi umat Islam
Indonesia pada umumnya untuk mengkaji lebih dalam ajaran-ajaran etik al-Qur’an
dan Sunnah Nabi dan memulai suatu langkah yang segar bagi rekonstruksi
sosial-politik dan moral Islam.
B.
Permasalahan
Berdasarkan
pada latar belakang yang telah diuraikan diatas maka adapun permasalahan yang
akan kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah pandangan syafii maarif terhadap
islam sebagai dasar negara?
2.
Apakah penyebab munculnya permasalahan politik
Islam di Indonesia?
3.
Bagaimanakah pandangan Syafii Maarif terhadap
perdebatan dalam Konstituante?
C.
Telaah Hasil Penelitian Terdahulu
Berikut adalah hasil karya yang
telah dilakukan oleh para peneliti antara lain;
1.
Penilitian
yang dilakukan oleh Drs. Abdul Aziz Thaba, MA. Yang berjudul Islam dan Negara
dalam Politik Orde Baru, dalam penelitiannya mencoba melihat bagaimana hubungan
antara Islam dan negara selama pemerintahan orde baru. Dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa pejuang umat Islam harus berada ditingkat negara dengan
melakukan “penetrasi nilai” terhadap kelompok-kelompok elit politik yang ada,
sandarannya kepada Habibie dengan ICMI-nya dan elit-elit politi lainnya.
Tokoh-tokoh Islam harus mampu melakukan “tawar-menawar” politik yang
menguntungkan ummat.
2.
Penelitian yang dilakukan oleh Tariq Ramadhan yang
membahas tentang hubungan Islam, Barat dan modernitas dari perspektif Islam dan
masyarakat muslim, dalam penelitiannya disimpulkan bahwa Kaum Muslim mampu
memberi respon terhadap beragam tantangan kontemporer tanpa harus mengingkari
identitas diri mereka, berebekal sumber-sumber Islam kaum Muslim dapat
menjalani epos kemoderenan dengan mempersiapkan tatanan sosial, politik, dan
ekonomi mereka, yang senantiasa terkait dengan nilai-nilai etis, tujuan dan
cita-cita rasa spiritualitasnya.
3.
Tesis
Saifuddin Anshari yang berjudul The Jakarta Charter of June 1945: A History of the Gentlemen’s Agreement
between the Islamic and the Secular Nationalist in Modern Indonesia. Membahas perdebatan antara kelompok Islam dan kelompok
Nasionalis-Sekuler tentang Islam atau Pancasila sebagai dasar negara. Dalam
penelitian ini, Anshari menemukan bahwa problem Piagam Jakarta menjadi
salah-satu penyebab mengapa perdebatan soal dasar negara tidak pernah tuntas
hingga dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan sebagai respon atas kebuntuan
dalam persidangan Majelis Konstituante.
D.
Metodologi
Adapun metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian yang dilakukan
oleh Ahmad Syafii Maarif adalah deskriptif-historis yaitu mendeskripsikan
atau menggambarkan apa-apa yang terjadi pada masa lampau. Proses-prosesnya
terdiri dari penyelidikan, pencatatan, analisis dan menginterprestasikan
peristiwa-peristiwa masa lalu guna menemukan generalisasi, dan generalisasi
tersebut dapat berguna untuk memahami masa lampau juga keadaan masa kini bahkan
secara terbatas bisa digunakan untuk mengantisipasi hal-hal mendatang, dan Analitis-Evaluatif, Analitis adalah mengetahui makna yang dikandung
oleh istilah-istilah yang digunakan sekaligus mengetahui penerapannya dalam
praktik, evaluatif merupakan pemilihan ulang terhadap informasi peristiwa masa
lalu dari sumber referensi yang sesuai.
E.
Ruang Lingkup Penelitian
1.
Islam dan Cita-cita Politik
Islam adalah firman Allah, kata
“Islam” dalam pemikiran politik Islam” menunjuk kepada sifat partikularistik
kajian ini yang dibatasi oleh nilai-nilai normatif yang berasal dari
ajaran-ajaran Islam.
Perhatian utama al-Qur’an ialah
memberikan petunjuk yang benar kepada manusia, yaitu petunjuk yang akan
membawanya kepada kebenaran dan suasana kehidupan yang baik. Sebagai suatu
petunjuk bagi manusia, al-Qur’an menyediakan suatu dasar yang kukuh dan tak
berubah bagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang perlu bagi kehidupan.
Dilihat dari sudut pandang
seorang muslim tujuan suatu negara Islam adalah untuk memelihara keamanan dan
integritas negara, menjaga hukum dan ketertiban, dan untuk memajukan negeri itu
dapat merealisasikan seluruh potensinya sambil memberikan sumbangan bagi
kesejahteraan semua.
Al-Qur’an nampaknya tidak
tertarik pada teori khas tentang negara yang harus diikuti oleh umat Islam.
Perhatian pertama al-Qur’an ialah agar masyarakat ditegakkan atas keadilan dan
moralitas. Maka atas dasar nilai-nilai etik al-Qur’anlah bangunan politik Islam
wajib ditegakkan. Tapi karena al-Qur’an tidak menegaskan bentuk khas suatu
negara, maka model dan struktur ketatanegaraan Islam bukanlah suatu yang dapat
diubah, ia senantiasa terikat dengan perubahan, modifikasi dan perbaikan
menurut kebutuhan waktu dan ummat.
Dari al-Qur’an orang dapat
melihat bahwa periode akhir hanyalah kelanjutan dan pengembangan dari periode
awal. Jika disana nampak perbedaan, hal itu terutama terletak dalam kenyataan
bahwa Nabi tidak punya kekuasaan politik untuk menyongking misi kenabiannya
pada masa Makkah, sementara di Madinah ia “sebagai seorang kepala politik
agamanya”.
Pada masa kerasulan Nabi
Muhammad saw. yang berlangsung selama 23 tahun terbagi atas dua periode yaitu,
periode Makkah yang berlangsung selama 13 tahun dan periode Madinah selama 10
tahun.
Setelah wafatnya Rasulullah
saw., pertemuan dibalai Banu Sa’idah menjadi titik tolak yang sangat penting
dalam sejarak politik Islam pada masa
awal, pertemuan ini disebut sebagai pelaksanaan syura pertama dikalangan umat sejarah.
Pada hari berikutnya pemilihan Abu Bakar dikuatkan oleh ijma’ umat Islam dan ijma’
pertama inilah yang menjadi dasar bagi teori politik golongan sunni.
Pada masa al-Khulafa
al-Rasyidin (11-41H/632-661M), bentuk negara lebih tepat disebut sebagai
republik, karena sistem pemilihan kepala negara dilakukan dengan cara
pemilihan/pengangkatan oleh rakyat atau wakilnya serta berdasarkan kriteria
keshalehan, kemampuan dan prestasinya bukan berdasarkan kriteria keluarga.
Setelah pemerintahan al-Khulafa
al-Rasyidin dilanjutkan era Bani Umayyah berlangsung tahun 611-750M yang
dipimpin oleh Muawiyah dan beberapa khalifa yang menonjol pada masa itu, dan
kemudian pada tahun 750 M digantikan oleh dinasti Abbasyiah. Sementara itu
sangat penting untuk diingat bahwa lebih dari tiga abad setelah Nabi mendirikan
tatanan sosial politik Islam di Madinah, baru para yuris muali berspekulasi dan
menyusun teori politik mereka, yaitu pada saat pemerintahan Abbasyiah mengalami
kemunduran.
Pemikiran politik yang
berkembang dalam dunia Islam dapat dibedakan atas tiga periode, yaitu: masa
klasik, masa pertengahan, dan masa modern. Biasanya dua yang pertama
digabungkan karena memiliki pokok-pokok pemikiran yang serupa. Ada enam pemikir
yang hidup pada masa ini, yaitu: Ibnu Abi Rabi, Farabi, Mawardi, Ghazali, Ibnu
Taimiyah, dan Ibnu Kahldun. Adapun pemikir politik yang terkenal dalam abad
Modern adalah: al-Afgani, Muhammad Abduh, Muhammad Ridha, Al-Raziq, Hasan
al-Banna, Sayyid Qutb, Al-Maududi, Muhammad Husain Haikal, Muhammad Iqbal,
Hassan al-Turbabi, Ismail al-Faruqi, Khursyid Ahmad, Abdul Aziz Sachedina, Imam
Khomeini, Ali Syariati dan Sebagainya.
2.
Islam dan Dasar Negara di Indonesia
Dalam majelis konstituante,
pada mulanya ada tiga rancanga (draft)
tentang dasar negara yang diajukan oleh tiga fraksi. Ketiganya ialah:
Pancasila, Islam dan Sosial-Ekonomi.
Berikut akan dibahas beberapa teori negara Islam:
Secara umum dapat dikatakan
bahwa sejak awal, umat Islam Indonesia, modernis dan sayap pesantren telah
memilih sistem politik demokrasi. Menurut padangan mereka, demokrasi adalah
mekanisme politik yang lebih baik yang dapat digunakan untuk mencapai
tujuan-tujuan dan cita-cita politik Islam. Negara Islam muncul dipermukaan bumi
pertama kali dalam sidang BPUPKI.
Dalam pidato Natsir baerdalil
bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu
Sirkularisme (La-diniyah), atau paham
agama (dini).
kata Natsir “negara itu harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam
masyarakat.Mengupas masalah hubungan Islam dengan negara, natrsir mendasarkan
uraianya kepada Ayat al-Qur’an: XXVII:56.
“dan kami tidak jadikan jin dan manusia, melainkan supaya menyembah
kepadaku”.
Dari ayat ini Natsir
mengembangkan teorinya dengan mengatakan: “... seorang Islam hidup diatas dunia
ini dengan cita-cita kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dengan arti yang
sepenuhnya, yakni hamba Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan
akhirat. Selanjutnya didalilkan bahwa negara sebagai kekuatan dunia
merupakan suatu yang mutlak bagi al-Qur’an, sebab hanya dengan itulah
aturan-aturan dan ajaran-ajarannya dapat dilakasanakan dalam kehidupan nyata.
Bagi pemimpin modernis ini, negara adalah alat bagi Islam untuk melaksanakan
hukum-hukum Allah demi keselamatan demi kesentosaan manusia.
Penulis modernis yang kedua
ialah Zainal Abidin Ahmad, dia juga seorang pembela demokrasi yang gigih.
Menurutnya, kedaulatan tertinggai dalam suatu negara Islam berada sepenuhnya di
tangan rakyat. Dalam pidatonya di depaan Majelis Konstituante, Ahmad mengajukan
dua alasan pokok mengapa umat Islam dipilihnya sebagai dasar negara. Pertama, kelompok penguasa harus
mendapat persetujuan dari golongan rakyat mayoritas, kedua, golongan minoritas haruslah terjamin hak-haknya.
Selanjutnya teori menurut
Muhammad Asad “suatu negara dapat menjadi benar-benar islami hanyalah dengan
keharusan pelaksanaan yang sadar dari ajaran Islam terhadap kehidupan bangsa,
dan dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam undang-undang negara.
Menurut Ahmad Syafii Maarif
aspirasi menjadikan Islam sebagai dasar Negara yang dilakukan para tokoh islam
di masa kemerdekaan jika di kaji lebih mendalam sesungguhnya tidak jelas
aspirasi islam yang diperjuangkannya. Dimatanya tidak gambang menempatkan syarat
islam ke dalam mekanisme kehidupan politik modern.
Islam tidak mempersalahkan apapun nama dalam bentuk pemerintahan, Islam hanya
menekankan pentingnya moral etik dalam kehidupan bernegara.
Dalam menolak pancasila dan
mempertahankan Islam sebagai dasar negara partai-partai Islam bersatu, dan pada
umumnya argumen yang biasa diajukan ialah bahwa pancasila merupakan “suatu
perjanjian moral yang luhur” antara kaum nasionalis dan kelompok Islam.
Menurut profesor Drs. Notonagro
S.H, baginya yang terpenting adalah bahwa kelahiran pancasila dan
perkembangannya pada periode awal tidak dapat dipisahkan dari proses kelahiran
Indonesia sebagai sebuah negara baru.
Bagi Hatta, sila Ketuhanan yang
Maha Esa menjadi dasar yang memimpin sila-sila yang lain. Muhammad Natsir
sebelum Pemilihan umum 1955 juga mengemukakan pandangan yang agak mirip dengan
pendapat Hatta. Dalam pidatonya di muka The
Pakistan Institute of World Affairs pada tahun 1952, Natsir berkata:
Tidak diragukan lagi Pakistan
adalah sebuah negeri Islam karena penduduknya dan karena pilihan sebab ia
menyatakan Islam sebagai agama negara. Begitu juga Indonesia adalah sebuah
negeri Islam karena fakta bahwa Islam diakui sebagai agama rakyat Indonesia,
sekalipun dalam konstitusi kami tidak dengan tegas dinyatakan sebagai agama
negara. Tetapi Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan.
Bahkan ia telah menaruh kepercayaan tauhid (monotheistic
belief) kepada Tuhan pada tempat teratas dari pancasila- lima prinsip yang
dipegang sebagai dasar etik, moral dan spiritual negara dan bangasa.
Beberapa tahun sebelum
meninggal Hatta mengingatkan: “dalam kehidupan sehari-hari pancasila itu hanya diamalkan di bibir saja.
Tidak banyak manusia Indonesia yang menanam pancasila itu sebagai keyakinan
yang berakar dalam hatinya. Orang lupa, bahwa kelima sila itu berangkaian,
tidak berdiri sendiri-sendiri.
3.
Islam di Indonesia
Ada beberapa pendapat mengenai
masuknya Islam ke Indonesia antara lain: Islam masuk ke Indonesia Pada abad
ke-8 Miladiyan dan yang kedua Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13. Dimana
keduanya dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur
transportasi yang dilakukan oleh para pedagang.
Islam di Indonesia berpangakap
pada kota-kota pelabuhan, seperti Samudra Pasai, Malaka dan kota-kota pelabuhan
lain dipesisir utara Jawa. Proses penyebaran Islam terjadi lewat beberapa
saluran, yaitu; saluran perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan kesenian
dan saluran politik. Melalui beberapa saluran penyebaran tersebut maka semakin
banyak masyarakat yang memeluk agama Islam.
a.
Politik Islam Hindia Belanda
Pada mulaya, belanda datang ke
Indonesia dalam rangka berdagang yaitu mendapatkan rempah-rempah di bumi
nusantara yang harganya sangat mahal di Eropa. Kemudian ketika orang belanda
yang datang semakin banyak maka pemerintah kerajaan Belanda mengesahkan
berdirinya perseroan yang mengatur perdangangan tersebut yaitu VOC. Belanda
adalah musuh nomor satu umat Islam, Pada masa ini Islam sebagai kekuatan
pembebas berhadapan dengan politik kolonial Belanda.
Secara kasar, politik Belanda
terhadap umat Islam di Indonesia dibagi menjadi dua prinsip: yaitu bercorak keagamaan
dan bercorak politik. Hal ini berdampak di pada pemerintahan dan keagamaan
terutama dampaknya dilapangan pendidikan tradisional, sehingga membuat umat
Islam mendirikan kubu-kubu pendidikan baru di daerah pedalaman, dan disinilah
mereka melancarkan perlawanan kultural keagamaan terhadap nila dan gagasan yang
bercorak asing. Berawal dari sinilah sehingga gerakan Islam bermunculan yang
diawali oleh NU yang merupakan gerakan Islam terbesar dengan latar belakang
pesantren didirikan pada tahun 1926 di surabaya. Selain NU masih banyak
gerakan-geraka Islam yang lainnya
seperti : Perti (persatuan Tarbiyah Islamiyah), al-Wasliyah, Nahdatul Wathan di
Lombok, dan PUI di Jawa Barat.
Kegiatan belajar yang dilakukan
pada masa ini bercorak tradisional yaitu dengan melakukan pembelajaran diberbagai
pesantren yang mulanya tidak memiliki kurikulum terperinci, tidak memberi
gelara atau sertifikat. Dalam pesantren otoritas kyai begitu dominan dan sangat
dihormati, menurut kecamata modernis muslin pesantren tidak lebih dari suatu halaqah yaitu tempat para santri
mengerumuni seorang kyai tertentu, tetapi antara mereka dengan pemahaman
langsung al-Quran ada jarak tertentu, dan ini merupakan suatu kelemahan dari
sistem pendidikan pesantren.
Sejak dekade kedua dan ketiga abad
ke-20, Indonesia telah mengenal berbagai gerakan modernis Islam, seperti: Muhammdiyah,
Persis, Al-Arsyad dan Serekat Islam.
Serikat Islam (SI) yang didirikan pada tanggal 11 November 1911 oleh H.
Samnhudi, merupakan organisasi politik Indonesia abad ke-20 yang paling
menonjol. Berbeda dengan Muhammadiyah yang bercorak sosio-keagamaan SI sejak
semua adalah gerakan politik.
Dan yang paling berpengaruh
diantaranya adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H A. Dahlan pada 18 November 1912, karena berhasil mendirikan banyak sekolah dan
madrasah, masjid, rumah sakit, klinik, rumah yatim piyatu dan lembaga sosial
lainnya diseluruh kepulauan Indonesia. Pada masa ini para pejabat-pejabat
Belanda di Indonesia memandang bahwa gerakan pada modernis ini tidak berbahaya
bila dibandingkan dengan gerakan Nasional, sehingga Muhammadiyah mempunyai
kesempatan yang baik untuk mengembangkan kegiatan sosial keagamaannya diseluruh
Indonesia.
Menjelang berakhirnya era
kolonial belanda partai-partai dan organisasi-organisasi Islam menyadari betapa
pentingnya memperbaiki kumunikasi, sehingga para pemimpin-pemimpin islam baik
dari Muhammdiyah NU, SI, Al-Arsyad, Al-Aslam (organisasi Islam lokal di Solo)
dan lain-lain telah berhasil membentuk Suatu badan Federasi MIAI (Majelis Islam
A’la Indonesia) di Surabaya pada tanggal 21 September 1937.
b.
Islam dan Penduduk Jepang
Tepat pada bulan Maret 1942,
kekuasaan kolonial Belanda diusir dari Indonesia oleh pasukan jepang tanpa
perlawanan yang berarti dari pihak penjajahan Belanda. Kedatangan jepang
mula-mula disambut dengan antusias bukan saja oleh umat Islam tetapi juga oleh
seluruh bangsa Indonesia.
Pemerintahan Jepang di
Indonesia diawali dengan menciptakan Shumubu (Kantor Departemen Agama) di ibu
Kota dan Shumuka di seluruh kepulauan Indonesia, dan juga pemerintahan Jepang
membentuk pasukan Hizbullah (unit militer bagi pemuda Islam), dan disamping
pasukan Hizbullah para pemimpin ummat juga membentuk Sabilillah (organisasi
militer bagi Ulama). Pada bulan Oktober 1943 Jepang membubarkan MIAI dan
membentuk federasi lain dengan nama Masyumi.
Melalui pengalaman yang
didapatkan oleh para umat muslim sperti latihan administrasi dan kemiliteran
selama periode kependudukan, sekalipun suasana kehidupan rakyat Indonesia
sangat memprihatinkan, yaitu kemiskinan dan kesengsaraan yang amat sangat,
semata-mata karena memenuhi ambisi perang jepang yang imperealistik itu,
menurut Syafii Maarif Untunglah ambisi perang jepang ini cepat terpatahkan,
bukan oleh kekuatan bangsa Indonesia, tapi oleh “amarah” Tuhan lewat tangan
sekutu.
4.
Kemerdekaan Indonesia dan Kesadaran Politik Islam
Agar memperoleh gambaran yang
agak tajam tentang gejolak politik Ummat Islam selama hari-hari persiapan
kemerdekaan, maka kiranya perlu diikuti perkembangan dan konflik-kinflik
politik antara berbagai golongan ideologo di Indonesia sekitar tiga bulan
menjelang kemerdekaan.
Dalam sidang BPUPKI terjadi
perdebatan antara golongan Islam dan golongan Nasionalis tentang dasar negara
yang akan diberlakukan dinegara yang akan berdiri, dimana ada dua ada dua
aliran Politik yang muncul dipermukaan: Islam dan aliran pemisahan negara dan
Agama. Perli diketahui bahwa dalam pancasila sukarno, sila ketuhanan diletakkan
sebagai sila kelima. Dengan demikian sukarno tidak menjadikan sila ketuhanan
sebagai sumber moral bagi sila-sila yang lain. lebih dari itu, bagi sukarno
pancasila dapat disarikan menjadi Trisila, yakni: 1 sosio-nasionalisme: 2 sosio-demokrasi:
3. Ketuhanan bahkan sila yang ketiga ini dapat diperas menjadi Ekasila dalam
bentuk gotong-royong. Sudah pasti teori tipikal ini dipandang tidak masuk akal
oleh setiap muslin yang sadar akan ajaran agamanya.
. Untuk membicarakan perbedaan
itu lebih lanjut dibuatlah Panitia sembilan terdiri dari lima orang dari
golongan nasional (Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad subarjo, Muh Yamin dan AA
Maramis, sedangkan dari golongan Islam diwakili oleh: H. Agus Salim, Kyai Wahid
Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkar. Akhirnya kompromi dicapai pada tanggal 22 Juni 1945 dengan menambahkan
tujuh patah kata dalam sila pertama menjadi “ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”.
5.
Islam dalam masa Revolusi
Kekalahan golongan Islam dengan terhapusnya
Piagam Jakarta membuat mereka bersatu memikirkan suatu partai politik yang
dapat menjadi payung bagi semua organisasi Islam, setelah pemerintah
mengeliarkan maklumat Pemerintah No X tanggal 3 November 1945 tentang anjuran
membentuk partai politik, kesempatan ini tidak disia-siakan umat Islam maka
pada tanggal 7 November 1945 dibentuklah sebuah partai politik Islam dengan
nama Masyumi. Pada mulanya yang masuk masyumi hanya empat organisasi, yaitu
Muhamadiyah, NU, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam.
Kongres November telah
melahirkan dua keputusan penting. Pertama,
pembentukan sebuah partai politik dengan nama masyumi: Kedua, Kecuali Masyumi ummat Islam tidak memiliki partai politik
lain. dalam anggaran dasar Masyumi ditegaskan secara gamblang bahwa: “tujuan
partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang
seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia menuju keridhaan Ilahi.
Antara tahun 1945-1949 segala
potensi kekuatan sosial-politik di Indonesia diabadikan untuk mempertahankan
kemerdekaan, setelah belanda datang membonceng pihak sekutu dan datang kembali
untuk menjajah Indonesia. Menurut Syafii Maarif perjuangan Masyumi pada masa
revolusi ini hampir total. Mereka menolak segala perundingan dengan Belanda
karena dipandang menodai perjuangan.
Salah satu Masyumi peran yang
tidak kalah penting dimainkan olehh Moh. Roem dalam perundinga RI-Belanda
dimulai pada tanggal 14 April 1949, dikenal dengan perundingan Roem-Royen
berkat perundingan ini konfrensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 23 Agustus-2
November 1949 berhasil dilangsungkan. Ketua delegasi Indonesia adalah Moh.
Hatta dan Wakil ketua Moh. Roem. Penyerahan kedaulatan ditandatangani pada
tanggal 29 Desember 1949, dengan demikian berakhirlah masa revolusi.
Dalam perkembangan sejarah pada
tahun-tahun berikutnya, kesepakaatan pada Kongres November itu baik dalam teori
maupun praktek tidak bertahan lama, pada bulan Juli 1947 PSII meninggalkan
Masyumi, peristiwa ini dapat pula dipandang sebagai fenomena mulai merapuhnya
ikatan dalam tubuh masyumi, pada tahun 1952 NU mengikuti jejak PSII, dan
mengubah dirinya menjadi Jami’iyyah
(gerakan sosio keagamaan), setelah keluarnya NU dari politik Masyumi parpol
Islam diwakili oleh Masyumi, NU, PSII dan Perti. Menjelang periode demokrasi
Terpimpin (1959-1965) sejarah indonesia moderen memasuki periode transisi
setelah gagalnya demokrasi parlementer.
6.
Perdebatan dalam Konstituante
Pemilu 1955
menghasilkan “empat besar” yaitu PNI, Masyumi,
NU, dan PKI, tidak ada yang menang mayoritas. PNI diurutan pertama dengan 22,3%
suara, diikuti oleh Masyumi 20,9%, NU 18,4%, dan PKI 16,4% sedangkan sisa 22%
terbagi dipartai-partai lainnya.
Secara teoritis, hasil pemilu 1955 merupakan Frame of reference tentang konfigurasi awal “papan catur politik
Indonesia.
Dikutip oleh Bahtiar Effendi
dalam perdebatan tentang dasar ideologi negara, tiga aliran ideologis tampil
menonjol: Islam, Pancasila dan Sosial-Politik. Tetapi mengingat
pedebatan-perdebatan tentang dasar ideologi yang berlangsung sebelumnya antara
para pendukung aliran ideologi Islam dan Pancasila.
Dalam
menguraikan perdebatan tentang dasar negara dalam Konstituante beberapa
peristiwa penting dalam masa 1950-1955 dapat diperhatikan, apabila
pada tahun 1945 Soekarno menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 hanya
bersifat sementara dan Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat menyusun
Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna bila
suasana sudah tenteram, namun
kenyataan sejarah menggambarkan hal yang berbeda, pada tanggal 27 Januari 1953,
bung karno dalam sebuah pidatonya dikalimantan selatan berkata:
“kalau kita dirikan negara berdasarkan Islam, maka banyak daerah-daerah
yang penduduk-penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri, misalnya
Maluku, Bali, flores, Timor, Kai dan juga Irian Barat yang belum masuk wilayah
Indonesia tidak akan mau ikut dalam Republik”
Pidato itu mengagetkan tokoh-tokoh Islam, apalagi Bung
Karno pernah memberi janji, pada saat perbincangan di BPUPKI dan PPKI yang
menghasilkan kompromi Piagam Jakarta. Berbagai reaksi keras disampaikan oleh
para pemimpin Islam terhadap pidato ini, baik dari Masyumi, NU,PSII dan Perti
maupun Ormas-orma Islam Lain.
Mohamad Natsir menambahkan bahwa hanya dua alternatif
yang dapat dijadikan dasar negara yaitu ideologi Islam atau ideologi sekuler,
dengan sebuah kaedah ia menegaskan bahwa Islam dalam kaitannya dengan ibadah
semua dilarang kecuali yang diperintahkan, sedangkan yang terkait dengan
kehidupan dunia semua dibolehkan kecuali yang dilarang.M. Natsir menawarkan
Islam sebagai azas negara bukanlah aksi pembangkangan negara (makar), akan
tetapi lebih pada penghidupan demokrasi. Oleh
sebab itu dalam pidatonya pada sidang pleno konstituante (12 November 1957) ia
menghendaki negara Indonesia ini berazaskan ideologi Islam. “Negara
demokrasi berdasarkan Islam”.
Kelompok
Islam dalam majelis Konstituante juga menegaskan bahwa
Pancasila tidak dapat dibandingkan dengan Islam. Pancasila adalah produk
manusia, sedangkan Islam adalah ciptaan Allah. Wakil fraksi Islam lainnya juga
memberikan argumentasi yang sangat retoris, Mohammad Natsir misalnya
memperingatkan umat, bahwa kalau umat berpindah dari Islam ke Pancaila adalah
sama artinya dengan melompat dari bumi tempat berpijak ke ruang hampa tak berhawa.
Pernyataan Natsir ini disambut oleh Mononutu dengan pernyataan yang tidak
kurang pedasnya dengan menegaskan bahwa dari ideologi Pancasila ke negara
Indonesia berdasar agama Islam, bagi umat Kristen adalah ibarat melompat dari
bumi yang tenang dan sentosa ke ruang kosong tak berhawa.
Menurut Saoki dalam tulisannya yang berjudul Islam
sebagai dasar negara perdebatan dalam PPKI dan Konstitusnt, Perdebatan yang terjadi
antara pendukung Pancasila sebagai dasar negara dengan pendukung Islam, pada
dasarnya merupakan konfrontasi ideologi, karena masing-masing pihak mengajukan
argumentasi yang tajam mengenai keunggulan ideologi yang didukungnya. Pada satu
sisi, Pancasila dianggap sebagai platform sejati untuk setiap ideologi yang
terdapat di Indonesia dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, dan hanya
ideologi Pancasila-lah yang dapat menjamin kesatuan dan keutuhan
masyarakat.
Bagi Hatta sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar
yang memimpin sila-sila yang lain, sayangnya pendapat ini dikemukakan Hatta
setelah Majelis Konstituante dibubarkan. sebelum
Pemilihan Umum 1955 Mohammad Natsir juga pernah mengemukakan pandangan yang
mirip dengan pendapat Hatta, dalam pidatonya di muka the Pakistan Institute of
World Affairs pada tahun 1952, Natsir berkata:
“Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena
penduduknya dan karena pilihan sebab ia menyatakan Islam sebagai agama negara
begitu juga Indonesia adalah sebuah negeri Islam karena fakta bahwa Islam
diakui sebagai Agama rakyat Indinesia, sekalipun dalam konstitusi kami tidak
dengan tegas dinyatakan sebagai Agama negara. Tetapi Indonesia tidak
mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan. Bahkan ia telah menaruh kepercayaan
tauhid kepada Tuhan pada tempata teratas dari pancasila- lima prinsip dipegang
sebagai dasar etik, moral dan spiritual negara dan bangsa.”
Pendiri tiga partai Islam yang lain, PSII, NU dan Perti
terhadap pancasila adalah sejalan dengan Masyumi di konstituante empat partai
Islam itu berhasil mengenai pancasila berhasil mengambil satu sikap yang sama
menghadapi pihak-pihak lain, tapai alasan penolakan tiga partai tersebut
terhadap diambilnya pancasila sebagai dasar negara lebih tidak jelas
dibandingkan dengan alasan Masyumi yang diwakili oleh argumentasi Natsir.
Misalnya K.H. Masykur dari NU mengemukakan dalam sidang Konstituante bahwa
Islam dan Pancasila, keduanya menghendaki negara yang makmurdan bahagia,
pemerintah yang demokratis, anti kapitalisme dan imperialisme, agar ekonomi
dunia disusun secara kekeluargaan, agar kehidupan rumah tangga bangsa kita
bahagia dan mempunyai nilai akhlak yang tinggi.
PSII hanya mengemukakan bahwa Islam itu baik dan cocok
dengan kepribadian bangsa Indonesia, dan PSII bermaksud menjalankan Islam
dengan setulus-tulusnya dan sepenuh-penuhnya, agar umat Islam dapat menciptakan
suatu dunia Islam yang sejati dan dapat menuntut kehidupan Muslim yang
sesungguhnya. Peri hanya menunjuk kepada realitas bahwa mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam, dan menurut keyakinan Islam seorang muslim wajib
menjalankan hukum-hukum Islam, baik untuk dirinya maupun untuk masyarakat
disekitarnya.
Bung
Hatta, misalnya, mengkritik sikap kaku dari golongan Islam dalam Majelis
Konstituante yang terus mendesakkan dasar negara Islam bagi Indonesia, padahal
mereka tahu kalau pun dipaksakan tidak akan berhasil. Alasan Hatta; aliran yang
berpegang kepada Pancasila pendukungnya 52 %, sedangkan aliran yang mendukung
negara Islam hanya 48% dalam Majelis Konstituante. Sementara menurut aturan
undang-undang yang menjadi dasar Konstituante, suatu usul dalam Konstituante
hanya dapat diterima dengan suara 2/3 terbanyak, jadi aliran yang
menuntut negara Islam bagi Indonesia tidak akan dapat mendapai cita-citanya.
Akan
tetapi yang disayangkan Hatta, golongan Islam bersikeras memperjuangkan
tujuannya dalam Konstituante. Tegas Hatta, alangkah baiknya apabila mereka
menunjukan sikap toleransi, setelah mereka berjuang sungguh-sungguh dan kalah
suara, mereka tidak meneruskan perjuangan itu dan secara demokrasi menerima
kekalahan itu serta mufakat dengan Pancasila sebagai dasar negara.
Isyu lain yang didiskusikan dalam Majelis Konstituante
ialah mengenaibentuk pemerintahan yang sesuai dengan realitas sosio-politik
Indonesia, dalam masalah ini, perdebatan dalam majelis berjalan lancar tanpa
diselingi oleh tingkah pendapat yang berlarut-larut dan panas. Semua fraksi
situju dengan republikanisme dalam memilih bentuk pemerintahan.
Tetapi
karena golongan Islam terus mendesakkan dasar negara Islam dengan tiada
kemungkinan untuk mendapatkan suara 2/3 terbanyak, Presiden Soekarno dengan dukungan tentara membubarkan
Konstituante dan mendekritkan kembali UUD 1945. Tindakan ini disetujui oleh DPR
yang dipilih pada tahun 1955 dengan suara terbanyak.
Perdebatan tentang dasar negara ini berlangsung sampai
dengan rapat yang terakhir pada tanggal 2 Juni 1959 tanpa menghasilkan suatu
keputusan.
Sebelum Majelis merampungkan tugasnya badan Konstituante dibubarkan oleh Bung
Karno lewat Dekrit 5 Juli 1959. Dekrit 5 Juli telah mengakhiri secara formal
periode Demokrasi Parlementer yang dimulai secara Konstitusional sejak tahun
1950 di bawah naungan UUD 1950. Sejak 5 Juli 1959, setiap usul tentang dasar
negara yang bertujuan mengganti pancasila sebagai konstitutional menjadi tidak
mungkin dan tidak dibenarkan, kevuali bila Majelis Permusyawaratan Rakyat pilih
rakyat menghendakinya sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945. Teks terlengkap adalah
sebagai berikut:
Dengan
Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
KAMI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESI/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Dengan ini menyatakan dengan khidmat:
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali
kepada Undang-undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat
Indonesia dengan Amanat Presiden tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh
keputusan dari konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar
Sementara.
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar Anggota-anggota
Sidang Pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang,
konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan rakyat
oleh Rakyat kepadanya:
Hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang
membahayakan persatuan dan kesatuan
Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai
masyarakat yang adil dan makmur:
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia
dan didirong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpakasa menempuh satu-satunya
jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi;
Bahwa kami meyakinkan bahawa Piagam Jakarta tertanggal 22
Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu
rangkaina-kesatuan dengan Konstitusi tersebut;
Maka atas dasar-dasar tersebut diatas,
KAMI
PERSIDEN REPUBLIK INDONESI/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Menetapkan pembukaan Konstituante;
Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi
segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai
hari tanggal penetapan Dikrit ini, dan tidak berlaku lagi Undang-undang Dasar
sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara,
yang terdiri atas Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan
utusan-utusandari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta pembentukan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan
di; Jakarta
Pada
tanggal: 5 Juli 1959
Atas
nama Rakyat Indonesia
PERSIDEN
REPUBLIK INDONESI/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG.
Kritik Hatta terhadap golongan Islam itu juga disetujui
oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif, bahkan lebih jauh lagi, secara terang-terangan
ia bersyukur bahwa usaha-usaha tokoh-tokoh Islam yang hendak menjadikan
Islam sebagai dasar negara Indonesia gagal terwujud. Apalagi
jika yang dimaksud dengan dasar negara Islam itu dikaitan dengan pelaksanaan
syari’at Islam seperti yang telah dirumuskan para Imam mazhab. Maka yang akan
terjadi adalah kesulitan besar untuk menerapkannya pada era modern, sebab semua
itu merupakan hasil ijtihad mereka jauh sebelum jatuhnya kekhalifahan Bagdad.
Ahmad Syafi’i memberi contoh bagaimana Pakistan yang sejak awal menyatakan diri
sebagai Republik Islam, ternyata masih menemui kebingungan bagaimana menerapkan
syari’at Islam dalam kehidupan benegara.
Dari pengalaman historis itu, Ahmad
Syafi’i menegaskan pendiriannya bahwa usaha-usaha untuk mengubah Indonesia
menjadi suatu negara Islam, sekalipun sah menurut Undang-Undang Dasar pada
tahun 1950-an merupakan usaha prematur yang tidak realistik karena sebuah
fondasi intelektual keagamaan yang kukuh bagi bangunan serupa itu belum lagi
diciptakan.
Namun
demikian, dalam soal hubungan antara Pancasila dan Islam, Ahmad Syafi’i Ma’arif
juga berpendapat bahwa Pancasila sebagai falsafat kenegaraan harus
bersifat terbuka. Dengan kata lain, bila Pancasila ingin tetap bermakna bagi
masyarakat Indonesia, ia harus membuka diri untuk menerima sinar dari
agama-agama yang berorientasi pada nilai-nilai transendental yang lebih tinggi.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas pemeluknya beragama Islam.
Ahmad Syafi’i mengharapkan agar Islam dijadikan sumber moral bagi pelaksanaan
Pancasila, khususnya bagi umat Islam, ini juga berarti bahwa penganut agama
lain berhak penuh menyinari Pancasila dengan ajaran agamanya masing-masing.
F.
Sumbangan dalam Keilmuan
Adapun sumbangan keilmuan dalam
penelitian ini antara lain:
1.
Karena belum adanya studi yang agak lengkap
tentang masalah dasar negara Indonesia ini, baik dalam bahasa Indonesia maupun
dalam bahasa asing, maka apa yang disajikan dalam penelitian ini diharapkan
akan sedikit memberi kejelasan tentang watak dan arti Islam dalam sejarah
moderen Indonesia, terutama dalam hubungannya dengan perkembangan dan perubahan
polotik di negara ini
2.
Melalui penelitian yang dilakukan Ahmad Syafii
Ma’arif dapat memberikn pengetahuan tentang situasi religius- intelektual umat
Islama di Indonesia.
3.
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Nurcholish
Manjid bahwa. Ahmad Syafii Maarif telah memberikan jasa kepada umat Islam di Indonesia
dalam bentuk rintisan penumbuhan tradisi Islam yang otentik sekaligus kritis.
4.
Dapat dijadikan sebagai reverensi bagi
peneliti-peneliti berikutnya.
G.
Kesimpulan
Realita yang terjadi, keberagaman pemeluk Agama di
Indonesia menjadikan faktor utama dalam merumuskan konsep dasar Negara,
perubahan yang terdapat pada sila pertama di Piagam Jakarta merupakan upaya
agar terciptanya persatuan, terkhusus persatuan kehidupan dalam ber-agama, dan
juga persatuan dalam ber-Negara. Konsep dasar Negara tersebut merupakan
refleksi dari kandungan Islam itu sendiri, yang telah di rumuskan oleh para
tokoh Agama Islam dan para tokoh Nasionalis.
Menurut Syafii Maarif Islam membutuhkan instrument yang
di sebut Negara. Negara dibutuhkan guna menyokong agama bagi Ahmad Syafi Maarif
Negara merupakan alat yang penting bagi agama namun demikian agama (Islam)
tidak harus atau di jadikan dasar Negara. Aspirasi politik hendaknya bukan
menjadikan Islam sebagai dasar Negara dan memformalisasikan syariat Islam, akan
tetapi menjalankan kehidupan atas dasar kebersaman dan bermusyawarah (Syura’).
Munculnya permasalahan politik Islam di Indonesia diawali
pada masa perpecahan politik yang terjada pada masa revolusi, dimana
organisasi-organisasi Islam memisahkan diri dari Masyumi, sehingga menyebebkan
melemahnya kekuatan politik Ummat Islam di Indonesia.
Adapun pandangan Syafii Maarif terhadap perdebatan yang
terjadi dalam Konstituante adalah secara terang-terangan ia bersyukur
bahwa usaha-usaha tokoh-tokoh Islam yang hendak menjadikan Islam sebagai dasar
negara Indonesia gagal terwujud. Apalagi jika yang
dimaksud dengan dasar negara Islam itu dikaitan dengan pelaksanaan syari’at
Islam seperti yang telah dirumuskan para Imam mazhab. Maka yang akan terjadi
adalah kesulitan besar untuk menerapkannya pada era modern, sebab semua itu
merupakan hasil ijtihad mereka jauh sebelum jatuhnya kekhalifahan Bagdad dan beliau menegaskan
pendiriannya bahwa usaha-usaha untuk mengubah Indonesia menjadi suatu negara
Islam, sekalipun sah menurut Undang-Undang Dasar pada tahun 1950-an merupakan
usaha prematur yang tidak realistik karena sebuah fondasi intelektual keagamaan
yang kukuh bagi bangunan serupa itu belum lagi diciptakan.
Namun
demikian, dalam soal hubungan antara Pancasila dan Islam, Ahmad Syafi’i Ma’arif
juga berpendapat bahwa Pancasila sebagai falsafat kenegaraan harus
bersifat terbuka
H.
Daftar Pustaka
Effendi.
Bahtiar. 1998.Islam dan Negara Transformasi
Pemikiran dan Praktik Islam di Indonesia,
Jakarta: Paramadina.
Jurnal Studi Agama, Reformulasi
Relasi Agama Negara: Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang Negara dan Syariat
Islam di Indonesia , Millah, Vol. X, No. 2, Februari 2011.
Kamal
Zainun, Yudi Latif, dkk. 2005. Islam Negara dan Civil Society. Jakarta:
Paramadinah.
Ramadan, Tariq. 2003.Hubungan Islam, Barat dan Modernitas dari Perspektif Islam dan Masyarakat Muslim,cet. Ke-1, Jakarta:Teraju.
Syafii, Maarif Ahmad. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:
LP3ES
Thoba, Abdul Aziz. 1996. Islam dan Negara; dalam
Politik Orde Baru, cet. Ke- 1, Jakarta:
Gema Insani Press.
Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara Ajaran
Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press.
Syarufuddin Anshari, The Jakarta Charter of June 1945: A History of the Gentlemen’s Agreement between
the Islamic and the Secular Nationalist in Modern Indonesia. tesis M.A.,(Montreal: McGill
University, 1976).