Tugas Mata Kuliah :
Perwakafan
Mata Kuliah :
Dr.H.Muslimin Kara,M.Ag.
PERWAKAFAN
(Sejarah Perwakan di Indonesia)
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK I
1.
RIZKA
NADIRAH (10200111076)
2.
SAPPEAMI (10200111077)
3.
SAPRIL (10200111078)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN
EKONOMI ISLAM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur
kehadirat allah SWT, Tuhan semesta alam ,
atas segala karunia, rahmat, hidayah dan taufik-NYA penulis memiliki kekuatan dan kesabaran
untuk menyelesaikan makalah ini meskipun
penulis mengakui bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.Shalawat serta salam
semoga tetap dilimpahkan kepada Rasulullah
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, para sahabat,dan semua
penganut ajarannya.
Penulis
berusaha menyajikan makalah ini secara sederhana praktis dan sistematis agar
mudah dihayati dan dipelajari oleh mahasiswa khususnya para mahasiswa dan mereka yang
berminat terhadap materi yang membahas
tentang SEJARAH PERWAKAFAN DI INDONESIA.
Adapun
diantara maksud penulisan makalah ini antara lain adalah membantu para
mahasiswa khususnya dan semua ummat islam umumnya yang ingin maju dan memiliki
wawasan luas mengenai SEJARAH
PERWAKAFAN DI INDONESIA sangat banyak ilmu yang berkaitan
dengan PERWAKAFAN sehingga akan banyak
mengalami kesulitan dalam mempelajari dan mengamalkannya semoga penulisan
makalah ini dapat membantu kesulitan tersebut.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir
kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua teman-teman yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Am
Makassar,8November2010
Kelompok
I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wakaf yang berasal dari lembaga hukum Islam telah diterima
oleh hukum adat bangsa Indonesia sejak dahulu di berbagai daerah di Nusantara
ini. Praktek mewakafkan tanah untuk keperluan umum terutama untuk keperluan peribadatan
atau sosial seperti masjid, surau, sekolah, madrasah, dan kuburan telah dilaksanakan
oleh bangsa Indonesia sejak dulu. Hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu
Allah Swt. dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan.
Misi hukum Islam sebagai aturan untuk mengejawantahkan nilai-nilai keimanan dan
aqidah mengemban misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi seluruh
lapisan masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan sosial maupun keadilan
ekonomi.
Salah satu institusi atau pranata sosial Islam yang
mengandung nilai sosial ekonomi adalah lembaga perwakafan. Sebagai kelanjutan
dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu berpuncak pada kesadaran
akan adanya Allah Swt., lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan
keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam
menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang,
karena akan melahirkan eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap
kelompok mayoritas (si miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan
akan menjadi penyakit masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang
beraneka ragam.
Wakaf
telah disyari'atkan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia sejak
zaman Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di
negara Indonesia. Menurut Ameer Ali, hukum wakaf merupakan cabang yang
terpenting dalam syari'at Islam, sebab ia terjalin kepada seluruh kehidupan
ibadat dan perekonomian sosial kaum muslimin.
Peraturan
tentang wakaf yang bertujuan untuk mengatur dan mengawasi tanah wakaf telah
banyak dikeluarkan sejak zaman pemerintah Kolonial Hindia Belanda, pemerintah
zaman kemerdekaan sampai terbitnya perundang-undangan yang mengatur tentang
perwakafan, antara lain Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik jo. PMDN No. 6
Tahun 1977 dan PMA No, 1 Tahun 1978, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaiman
sejarah perwakafan itu?
2. Bagaimanakah
sejarah perwakafan di Indonesia?
3. Bagaimana
peraturan perwakafan di Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui bagaimana sejarah perwakafan itu.
2. Untuk
mengetahui bagaimana sejarah perwakafan di Indonesia.
3. Untuk
mengetahui bagaimana peraturan perwakafan di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Perkembangan Wakaf
Dalam ajaran
Islam, peninggalan wakaf yang pertama kali dikenal dalam masyarakat Arab pra
Islam adalah Al-Ka’bah Al-Musyarafah yaitu rumah peribadatan pertama yang
dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s sebagai tempat untuk berkumpul (Haj) dan tempat
yang aman bagi manusia. Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan
masyarakat Arab waktu itu kemudian menjadikan Ka’bah sebagai pusat penyembahan
berhala, dengan keyakinan bahwa penyembahan berhala tersebut merupakan salah
satu upaya pendekatan diri kepada Allah. Selanjutnya setelah diutusnya nabi
Muhammad saw syari’at Islam mengaturnya lebih jelas dengan Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah dan diikuti oleh para sahabatnya. Dalam sejarah pembinaan hokum
Islam, amal wakaf telah dikenal semenjak masa Rasulullah, walaupun pada saat
itu belum menggunakan term tersebut. Selanjutnya para ulama berbeda pandapat
mengenai siapa orang yang pertama melaksanakan praktik wakaf, sebagian mereka
mengatakan Rasulullah adalah orang yang pertama melaksanakan praktik wakaf,
sedangkan yang lein mengatakan Umar Bin Khattab. Perbedaan pendapat ini
bersumber dari perbedaan ulama’ sahabat.
Ada pendapat yang menyebutkan
bahwa pemula adanya wakaf dalam Islam
ialah tanah yang diwakafkan oleh Rasulullah Saw. Untuk mesjid, pendapat ini
berdasarkan suatu riwayat dari Umar bin Muadz sebagai berikut[1]
“ kami bertanya tentang
permulaan wakaf dalam islam, orang muhajirin menyatakan adalah Umar, sedang
orang-orang anshar menyatakan Rasulullah Saw.”
Pada masa Islam, kita ketahui
bahwa wakaf pertama dalam tasyri’ Islam adalah wakaf masjid yang dibangun umat
Islam bersama Rasulullah di Quba pada tahun 622 M. Selanjutnya adalah wakaf
masjid Nabawi di Madinah yang merupakan masjid terpenting kedua setelah masjid
Haram di Makkah. Dalam kajian-kajian fiqh hadits yang cukup terkenal yang
menunjukkan disayari’atkannya wakaf, selain Hadits Umar bin Khattab adalah
hadits Abu Thalhah riwayat Muslim dan Anas bin Malik; Abu Thalhah adalah
sahabat yang paling banyak kebun kormanya di Madinah. Harta yang paling ia
cintai adalah Bairaha’ yang tepat berhadapan dengan masjid Nabi. Setelah turun
dan dibacakannya ayat 92 Surat Ali Imran, maka Abu Thalhah berdiri dan
mengatakan: “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya harta yang paling aku cintai
adalah Bairaha’, ia kami sedekahkan kepada Allah, kami hanya mengharapkan
kebaikan dan pahalanya di sisi Allah. Pergunakanlah kebun itu sesuai dengan
petunjuk Allah.” Maka Rasulullah pun menerima wakafnya dan memberikan
petunjuk-petunjuk tentang penggunaan hartanya tersebut. (Abdul Wahab, Al-Waqf,
39). Selanjutnya permasalahan wakaf menjadi wacana fiqhiyah yang dibicarakan
secara panjang lebar oleh para fuqaha’ berkenaan pengertian, syarat-syarat dan
rukun wakaf, syarat-syarat wakif, syarat-syarat harta wakaf, syarat sasaran
wakaf serta ketentuan-ketentuan lain berkaitan dengan pemberdayaan lembaga
wakaf. Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti
Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak
hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk
membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para
statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme
masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk
mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial
dan ekonomi masyarakat. Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang
menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan
tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang
tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan
diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan
dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari
waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia. Hal ini
terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini
telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri.
Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda
wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan
di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga
wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat
banyak.
Dalam
perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan
laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti
bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di
Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius
dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No.
42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya
2.2 Sejarah perkembangan wakaf di
Indonesia
Sejarah
perkembangan wakaf di Indonesia sejalan dengan penyebaran Islam di seluruh
wilayah nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga
mengajarkan wakaf pada umat. Kebutuhan akan tempat beribadah, seperti masjid,
surau, mendorong umat Islam untuk menyerahkan tanahnya sebagai wakaf. Ajaran
wakaf di bumi Nusantara terus berkembang terbukti dengan banyaknya
masjid-masjid bersejarah yang dibangun di atas tanah wakaf. Seiring dengan
perkembangan sosial masyarakat Islam, praktek perwakafan mengalami kemajuan
dari waktu ke waktu.
Perkembangan
wakaf di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kurun waktu, yaitu :
1. Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia :
Wakaf merupakan suatu lembaga ekonomi Islam yang
eksistensinya sudah ada semenjak awal kedatangan Islam. Wakaf adalah lembaga
Islam kedua tertua di Indonesia setelah (atau bersamaan dengan) perkawinan.
Sejak zaman awal telah dikenal wakaf masjid, wakaf langgar / surau dan wakaf
tanah pemakaman di berbagai wilayah Indonesia. Selanjutnya muncul wakaf tanah
untuk pesantren dan madrasah atau wakaf tanah pertanian untuk membiayai
pendidikan Islam dan wakaf-wakaf lainnya.
Pada mulanya lembaga wakaf di Indonesia sering dilakukan
oleh umat Islam, sebagai konsekuensi logis banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia. Sekalipun lembaga wakaf merupakan salah satu pranata Islam, tetapi
seolah-olah sudah merupakan kesepakatan diantara para ahli hukum bahwa
pewakafan merupakan masalah dalam Hukum Adat Indonesia, sebab diterimanya
lembaga berasal dari suatu kebiasaan dalam pergaulannya. Sejak itu persoalan
wakaf telah diatur dalam Hukum Adat yang sifatnya tidak tertulis dengan mengambil
sumber dari Hukum Islam.
Sewaktu Belanda mulai menjajah Indonesia lebih kurang tiga
abad yang lalu, maka wakaf sebagai lembaga keuangan Islam telah tersebar di
berbagai persada nusantara Indonesia. Dengan berdirinya Priesterrad (Rad
Agama / Peradilan Agama) berdasarkan Staatsblad Nomor 152 pada tahun 1882, maka
dalam praktek yang berlaku, masalah wakaf menjadi salah satu wewenangnya, di
samping masalah perkawinan, waris, hibah, shadaqah dan hal-hal lain yang
dipandang berhubungan erat dengan agama Islam. Pengakuan Belanda ini
berdasarkan kenyataan bahwa penyelesaian sengketa mengenai masalah wakaf dan
lain-lain yang berhubungan dengan hukum Islam diajukan oleh masyarakat ke
Mahkamah Syar’iyyah atau Peradilan Agama lokal dengan berbagai nama di berbagai
daerah di Indonesia.
Pada masa ini (baca juga penjajah), telah dikeluarkan
berbagai peraturan yang mengatur tentang wakaf, antara lain :
a. SE Sekretaris Govememen pertama
tanggal 31 Januari 1905 Nomor 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 Nomor
6196 tentang Toezicht op den bouw van Mohammaedaansche bedehuizen.
b. SE Sekretaris
Govememen tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361 yang termuat dalam Bijblad 1931 Nomor
125/3 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammaedaansche, Vridagdiensten
en wakaf.
c. SE Sekretaris
Govememen pertama tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A sebagaimana termuat
dalam Bijblad tahun 1934 Nomor 13390 tentang Toezicht van de Regeering op
mohammaedaansehe bedehuize, Vrijdag diensten en wakafs.
2. Pasca
Kemerdekaan Republik Indonesia :
Peraturan-peraturan tentang perwakafan yang dikeluarkan pada
masa penjajah Belanda, sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agusus 1945
masih tetap berlaku berdasarkan bunyi pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
Maka untuk menyesuaikan dengan Negara Republik Indonesia dikeluarkan petunjuk
Menteri Agama RI tanggal 22 Desember 1953 tentang Petunjuk-petunjuk mengenai
wakaf, menjadi wewenang Bagian D (Ibadah Sosial), Jawatan Urusan Agama, dan
pada tanggal 8 Oktober 1956 telah dikeluarkan SE Nomor 5/D/1959 tentang
Prosedur Perwakafan Tanah.
Dalam rangka penertiban dan pembaharuan sistem Hukum
Agraria, masalah wakaf mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah nasional,
antara lain melalui Departemen Agama RI. Selama lebih tiga puluh tahun sejak
tahun 1960, telah dikeluarkan berbagai Undang-undang, Peraturana Pemerintah,
Peraturan Menteri, Insturksi Menetri / Gebernur dan lain-lain yang berhubungan
karena satu dan lain hal dengan masalah wakaf.
Dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, yang pada
intinya menyatakan benda wakaf adalah hukum agama yang diakui oleh hukum adat
di Indonesia, di samping kenyataan bahwa hukum adat (al-‘uruf) adalah
salah satu sumber komplementer hukum Islam. Sehingga dalam pasal 29 ayat (1) UU
yang sama dinyatakan secara jelas tentang hak-hak tanah untuk kepelruan suci
dan sosial. Wakaf adalah salah satu lembaga keagamaan dan sosial yang diakui
dan dilingdungi oleh UU ini.
3. Era Peraturan
Perudang-undangan Republik Indonesia :
Sebagaimana yang diketahui peraturan tentang perwakafan
tanah di Indonesia masih belum memenuhi kebutuhan maupun dapat memberikan
kepastian hukum, dari sebab itulah seuai dengan ketentuan pasal 49 ayat (3)
UUPA, pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977 menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan berlakunya peraturan ini
maka semua peraturan perundang-undangan tentang perwakafan sebelumnya yang
bertentangan dengan PP Nomor 28 Tahun 1977 ini dinyatakan tidak berlaku.
Dalam rangka mengamankan, mengatur dan mengelola tanah wakaf
secara lebih baik maka pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya juga mengatur masalah wakaf,
sehingga setelah munculnya Inpres ini, kondisi wakaf lebih terjaga dan terawat,
walaupun belum dikelola dan dikembangkan secara optimal.
Pada tanggal 11 Mei 2002 Majelis Ulama Indonesia
mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (cash wakaf/ waqf al nuqud)
dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya. Dan atas dukungan
political will Pemerintah secara penuh salah satunya adalah
lahirnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya (UU Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf).
Dari pasal undang-undang ini telah mewacana yang mengemuka
tentang wakaf tunai dan realitas respon dari berbagai kalangan menjadi dasar
pemikiran pentingnya penyusunan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
yang di dalamnya memuat aturan tentang wakaf tunai. Karena Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977, sebagai satu-satunya peraturan perundang-undangan tentang
wakaf sama sekali tidak mengcover masalah tersebut, Undang-undang ini
diharapkan dapat memberikan optimisme dan keteraturan dalam pengelolaan wakaf
secara umum dan wakaf tunai secara khusus di Negara Kesatuan Republik Indonesia
ke depan.
Lembaga wakaf yang berasal dari
agama islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia
sendiri. Disamping itu, suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak
benda Wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tidak bergerak. Kalau kita
perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup
sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kpada
masyarakat banyak.
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus
berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman
dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wahak
Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKi), dan lain-lain. di Indonesia sendiri ,
saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya
Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang pelaksanaanya.
Belakangan,
wakaf mengalami perubahan paradigma yang cukup tajam. Perubahan paradigma itu
terutama dalam pengelolaan wakaf yang ditujukan sebagai instrumen
menyejahterakan masyarakat muslim. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan
adalah endekatan bisnis dan manajemen. Konteks ini kemudian dikenal dengan
wakaf produktif. Ahmad junaedi dan kawan-kawan menawarkan dua halyang berkaitan
dengan wakaf produktif,
Pertama,
asas paradigma baru wakaf, yaitu asas keabadian manfaat, asas pertanggung
jawaban/responsibility, asas profesionalitas manajemen, dan asas keadilan.
Kedua,
aspek paradigma baru wakaf, yaitu pembaruan/reformasi pemahaman mengenai wakaf,
sistem manajemen kenazhiran/ manajemen sumber daya insani, dan sistem rekrutmen
wakif[2]
Wakaf
dalam konteks kekinian memiliki tiga ciri utama, pertama, pola manajemen wakaf harus terintegrasi: dana wakaf dapat
dialokasikan untuk program-program pemberdayaan dengan segala macam biaya yang
tercakup di dalamnya. Kedua, asas
kesejahteraan nazir. Pekerjaan sebagai nazir tidak lagidiposisikan sebagai
profesional yang bisa hidup dengan layak dari profesi tersebut. Ketiga, asas transparansi dan
tanggung jawab. Badan dan lembaga yang
dibantunya harus melaporkan proses pengelolaan dana kepada umat setiap tahun.[3]
Walaupun beberapa aturan telah
dibuat oleh pemerintah terkait dengan makanisme wakaf, seperti PP Noor 28 Tahun
1977 tetang perwakafan tanah milik, akan tetapi PP ini hanya mengatur wakaf
pertanahan saja. Ini berarti tak jauh beda denan model wakaf pada periode awal,
identik dengan wakaf tanah, dan kegunaannya pun terbatas pada kegiatan sosial
keagamaan, seperti masjid, kuburan, madrasah, dan lain-lain.
Dalam perjalanannya, Peraturan
Pemerintah ini bertahan cukup lama dan tidak ada aturan lain yang dibentuk
hingga tahun 2004. Karena minimnya regulasi yang mengatur tentang perwakafan,
maka tidaklah heran jika perkembangan wakaf di Indonesia mengalami stagnasi.
Walaupun cukup banyak lembaga wakaf yang berdiri, akan tetapi hanya sebagian
kecil lembaga wakaf (nazhir) saja yang mampu mengelola harta benda wakaf secara
optimal. Sehinga dapat dikatakan bahwa perkembanan wakaf di Indonesia belum
mampu memberikan kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Stagnasi
perkembangan wakaf di Indonesia mulai mengalami dinamisasi ketika pda tahun
2001, beberapa praktisi ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah
masyarakat mengenai konsep baru pengelolaan wakaf tunai untuk peningkatan
kesejahteraan umat. Ternyata konsep tesebut menarik dan mampu memberikan energy
untuk menggerakkan kemandegan perkembangan wakaf. Kemudian pada tahun 2002,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep tersebut dengan mengeluarkan
fatwa yang membolehkan wakaf uang (waqf al-nuqud). Fatwa MUI tersebut kemudian
diperkuat oleh hadirnya UU No. 41/2004 tentang wakaf yang menyebutkan bahwa
wakafa tidak hanya benda tidak bererak, tetapi jua dapat berupa benda bergerak,
seperti uang. Selain itu, diatur pula kebijakan perwakafan di Indonesia, mulai
dari pembentukan nazhir sampai dengan pengelolaan harta wakaf.[4]
2.3
Peraturan Perwakafan di Indonesia
Aturan
wakaf sudah ada sejak jaman Hindia Belanda hingga jaman kemerdekaan. Tetapi
secara administrative baru dimulai pada tahun 1905 dengan adanya pendaftaran
tanah wakaf berdasar surat edaran sebagai berikut:
- Surat Edaran Sekretaris Gubernement (SESG) tanggal 31 Januari 1905 (Bijblaad 1905, Nomor 6169) tentang perintah kepada Bupati untuk membuat daftar wakaf dan sejenisnya.
- SESG tanggal 4 April 1931 (Bijblaad 1931, Nomor 12573) sebagai pengganti Bijblaad sebelumnya yang berisi perintah kepada Bupati untuk meminta Ketua Pengadilan Agama untuk mendaftar tanah wakaf.
- SESG tanggal 24 Desember 1934 (Bijblaad 1934, Nomor 13390) tentang wewenang Bupati untuk menyelesaikan sengketa wakaf.
- SESG tanggal 27 Mei 1935 (Bijblaad 1935, Nomor 13480) tentang tata cara perwakafan.
Setelah
Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 maka sejak tanggal 24 Desember
1960 dibentuklah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) yang mengandung ketentuan
sebagai berikut:
- Berdasarkan pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, Peraturan Wakaf Hindia Belanda dinyatakan tetap berlaku dengan dikeluarkannya petunjuk dari Departemen Agama melalui Surat Edaran Nomor 5/D/1956 tentang prosedur perwakafan tanah, tanggal 8 Oktober 1956.
- Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria dan Menteri Agama tanggal 15 Maret 1959 Nomor 19/22/37-7, SK 62/KA/1959 tentang pengesahan tanah milik dialihkan kepada Kepala Pengawas Agraria Karesidenan yang pelaksanaannya diatur dengan Surat Keputusan Jawatan Agraria kepada Pusat Jawatan Agama tanggal 13 Februari 1960 Nomor 23/1/34-11.
- Diundangkannya UUPA Nomor 5 tahun 1960, pada bagian XI tertera bahwa untuk keperluan suci dan sosial (pasal 49 ayat 3) ditentukan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
- Pada tanggal 17 Mei 1977 ditetapkan PP Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 49 ayat 3 Undang-Undang Pokok Agraria di atas.
- Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1992 yang menetapkan Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya juga memuat Hukum Perwakafan.
- Pada tanggal 21 Oktober 2004, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan pada tanggal 15 Desember 2006 pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam
ajaran Islam, peninggalan wakaf yang pertama kali dikenal dalam masyarakat Arab
pra Islam adalah Al-Ka’bah Al-Musyarafah yaitu rumah peribadatan pertama yang
dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s sebagai tempat untuk berkumpul (Haj) dan tempat
yang aman bagi manusia. Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan
akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai
inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan
Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian
mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41
tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.
Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat Islam, praktek perwakafan mengalami
kemajuan dari waktu ke waktu.
Perkembangan wakaf di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kurun waktu, yaitu :Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia,Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia,Era Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia.
Perkembangan wakaf di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kurun waktu, yaitu :Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia,Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia,Era Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia.
3.2
Saran
Lembaga
perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam.Oleh
karena itu dengan mewakafkan harta maka akan memperkecil
terjadinya eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap kelompok mayoritas
(si miskin) yang akan
menimbulkan kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit masyarakat yang
mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka ragam karena prinsip pemilikan
harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai
oleh sekelompok orang.Dan mewakafkan harta mengandung nilai ibadah.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Muslimin,
Kebijakan Perbankan Syariah di Indonesia,
Makassar : Alauddin prees, 2011
2. Halim
Abdul, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat:
Ciputat Prees, 2005
3. Muzarie
Mukhlisin, Hukum Perwakafan dan
Implikasinya Terhadap Kesejahteraan Masyarakat, Departemen Kementrian
Agama, 2010
[2] Ahmad Djunaedi dkk, Paradigma Baru Wakaf di indonesia, (Jakarta:
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI. 2005), hlm. 63
[3] Muhammad Syafii Antonio,
Pengantar Pengelolaan Wakaf Secara
Produktif, (Jakarta: Mumtaz Publishing 2007), Cet. Ke-4, hlm. Viii.
[4] Prof. Dr. KH. Tholhah
Hasan (Ketua
Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia), Perkembangan
Kebijakan Wakaf di Indonesia,14 Maret 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar