html

javaScript

html

javaScript

Selasa, 25 Desember 2012

Cara membuat Makalah

TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH : BAHASA INDONESIA
DOSEN PEMBIMBING : AMAL AKBA, S.Pd., M.Pd

SISTEMATIKA PEMBUATAN MAKALAH
( Pengertian Setiap Bab dalam Makalah dan Cara Pembuatan Daftar Pustaka )
                                                            




OLEH
SAPPEAMI (10200111077)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2012




SISTEMATIKA PENULISAN MAKALAH DAN PENJELASANNYA
Sistematika Penulisan Makalah Disusun Sebagai Berikut :
1.      Halaman sampul , yamg memuat:
1)      Judul Makalah
2)      Nama, Nim
3)      Nama dan Tempat Perguruan Tinggi
4)      Tahun
2.      Kata Pengantar
3.      Daftar Isi
4.      Batang Tubuh Makalah yang terdiri dari :
a)      Pendahuluan
1)      Latar Belakang
2)      Rumusan Masalah
3)      Maksud dan Tujuan Penulis
b)      Pembahasan
c)      Penutup
1)      Kesimpulan
2)      Saran
d)     Daftar Pustaka

Sistematika penulisan makalah akan dijelasakan secara rinci sebagai berikut :
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia  Makalah memiliki dua arti. Arti makalah yang pertama tulisan resmi tentang suatu pokok yang dimaksudkan untuk dibacakan dimuka umum dalam suatu persidangan dan yang serimg disusun untuk diterbitkan.
Makalah adalah karya tulis ilmiah yang membahas suatu pokok persoalan, sebagai hasil penelitian atau sebagai hasil kajian yang disampaikan dalam suatu pertemuan ilmiah (seminar) atau yang berkenaan dengan tugas-tugas perkuliahan yang diberikan oleh dosen yang harus diselesaikan secara tertulis oleh mahasiswa. Berikut adalah penjelasan tiapa-tiap sistematika dalam pembuatan makalah.
1.      Halama Sampul
Dalam sebuah buku halaman sampul ini berbeda dengan halaman judul namun isi dari keduanya sama. Lembar judul merupakan Obyek dari pembahasan yang diwakili oleh judul utama. dalam lembaran ini memuat judul makalah, nama dan nim, nama dan tempat perguruan tinggi, dan tahun
2.      Kata Pengantar
Pada bagian awal makalah, pastilah akan kita temukan kata pengantar makalah. Kata pengantar ini memberikan sedikit gambaran singkat tentang makalah yang disajikan.Kata pengantar adalah semacam tulisan yang dibuat oleh pihak yang menulis sebuah karya tulis. Dan dapat juga diartikan sebagai sepatah dua patah kata dari si penulis yang hendak disampaikan kepada pembaca mengenai karyanga tersebut. Tulisan ini biasanya terdapat dibagian paling depan dari makalah dan mutlak ada dalam sebuah makalah karena makalah juga termasuk dalam salah satu jenis karya tulis.
Secara umum kata pengantar biasanya berisi ucapan rasa syukur pada tuhan, ucapan terimah kasih kepada pihak-pihak terkait, harapan penulis dan doa.
Langkah-langkah membuat kata pengantar:
a.       Awali dengan memanjataka puji syukur kepada Tuhan yang telah memberikan anda kesehatan sehingga biasa menyelesaikan karya tersbut dan pihak-pihak terkait yang telah membantu penulisan karya anda.
b.      Lanjutkan dengan memberikan sedikit gambaran tentang karya yang telah anda tulis. Pada bagian ini biasanya juga berisi tentang tujuan penulisan makalah.
c.       Bagian selanjutnya adalah harapan dan doa penulis tentang makalah yang ia buat.
d.      Setelah itu akhiri dengan permintaan maaf jika ada kekurangan dalam karya anda, harapan-harapan anda pada pembaca, dan doa agar karya anda biasa bermanfaat.
3.      Daftar Isi
Daftar Isi adalah bagian terpenting yang tidak boleh kita tinggalkan dan berguna untuk memudahkan pembaca mengetahui dihalaman mana bab yang ingin dibacanya. Daftar isi biasanya diletakkan setelah kata pengantar, dibuat secara berurutan dari halaman paling awal hingga halaman paling akhir termasuk lampiran yang terdapat dalam makalah tersebut. Di dalamnya dicantumkan judul bab dan sub babnya, yang masing-masing diawali dengan no atau huruf urutan yang konsisten dan diberi nomor halaman awal pembuatannya. Jarak antara judul atau subbab dengan nomor halaman dibungkan dengan titik-titik.
Pada dasarnya daftar isi tidak hanya berfungsi untuk mengetahui halaman sebuah artikel melainkan juga untuk mengetahui kelompok artikel atau kategori yang akan dibahas dan dibagi dalan beberapa bagian yang disebut bab.
            Cara penulisan daftar isi adalah sebagai berikut:
a)      Kata DAFTAR ISI ditempatkan sebagai judul halaman dibagian atas tengah dengan huruf kapital tebal (All caps) tanpa garis bawah (atau huruf miring) dan tanpa titik.
b)      Unsure-unsur dari bagian awal makalah, yakni halaman judul, kata pengantar, daftar isi dan seterusnya, ditulis dengan huruf capital. No halaman pemuatan dalam angka Romawi kecil di tempatkan di ujung baris.
c)      Bab-bab diketik secara berturut-turut dengan indikator angaka Romawi besar, di ikuti dengan judul bab yang ditulis secara keseluruhan dengan huruf capital tanpa garis bawah. Sementara itu,, huruf awal setiap kata dalam subbab ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata sandang, kata depan, dan kata penghubung yang ditulis dengan huruf kecil.
d)     Pada prinsipnya, ketentuan penulis karya ilmiah dalam bahasa Arab sama dengan ketentuan di atas kecuali dalam hal-hal teknis tertentu yang memang perlu disesuaikan dengan ketentuan dalam bahasa Arab.
Batang tubuh makalah yang terdiri dari :
a)      Pendahuluan
Pendahuluan merupakan pembuka suatu proyek persoalan yang akan dibahas dalam tulisan, tidak boleh terlalu panjang apalagi memasuki pembahasan pokok persoalan, hanya pengenalan ke arah yang akan dituju oleh penulis. Isinya seputar pembatasan masalah dan pengertian-pengertian. Persentase pendahuluan antara 20-25 %.[1]
Pendahuluan berisi pengantar ke permasalahan pokok yang memberikan gambaran tentang batasan dan tujuan penulisan. Pendahuluan merupakan bagian dari sebuah makalah yang sangat penting, karena pada pendahuluan makalah ada tiga point penting yang tercakup dalam bab 1 pada sebuah makalah yaitu :
1)      Latar Belakang
Latar Belakang adalah dasar atau titik tolak untuk memberikan pemahaman kepada pembaca atau pendengar mengenai apa yang ingin kita sampaikan. Latar belakang yang baik harus disusun dengan sejelas mungkin dan bila perlu disertai dengan data atau fakta yang mendukung. Pada nagian ini penulis mengemukakan sebab-sebab mengapa masalah yang dipersoalkuan perlu diteliti dan ditulis. Misalnya yang dibahas mempunyai arti penting bagi masyarakat
2)      Rumusan Masalah
Rumusan Masalah adalah bagian dimana masalah pokok yang akan dikaji ditegaskan secara konkret dan doformulasikan dalam bentuk kalimat-kalimat pertanyaan yang memerlukan jawaban. Rumusan Masalah harus sungguh-sungguh jelas. Permasalahan yang akan menjadi pembahasan penelitian diajukan dalam bentuk pertanmyaan. Merajuk pada pertanyaan itu penulis melakukan langkah-langkah penelitian dan penelaahan sehinnga dapat terjawab denga tepat.
3)      Tujuan
Dalam tujuan penyususnan atau penulisan dikemukakan usaha-usaha dan hasil-hasil yang telah dicapai secara garis besar. Jika karya ilmiah bertujuan menyampaikan pandangan atau penilaian penulis tentang topik yang telah diteliti, tujuan umumnya mengemukakan hipotesis penelitian dan penilaian penulis sesudah penelitiaan. Adapun tujuan khususnya perlu dikemukakan pertimbangan-pertimbangan yang mendukung penelitian.
b)      Pembahasan
Pembahasa atau pengembangan merupakan tahap pemaparan pokok persoalan. Bagian ini kadangkala disebut inti pembahasan atau pengembangan. Di bagian ini penulis menjalin gagasan secara sistematis dan logis dan menuangkan seluruh pemikirannya tentang pokok yang dibahas.
c)      Penutup
Bab ini berisi kesimpulan penelitian serta implikasi atau rekomendasi yang muncul bardasarkan penelitian tersebut. Dalalan bab ini ada dua pokok penting yankni:
1.      Kesimpulan
Kesimpulan adalah kristalisasi, kulminasi, dan intisari dari bahasan-bahasan yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya yang ditulis dengan kalimat-kalimat yang ringkas, padat, dan tegas. Yang lebih penting lagi kesimpulan harus merupakan jawaban yang tegas terhadap pokok masalah yang dikemukakan pada bagian pendahuluan.
2.      Saran
Dalam bab penutup ini dimuat pula implikasi dari penelitian yang telah dilakukan dalam bentik sara-saran atau rekomendasi yang dipandang perlu, baik yang bersifat teoritis maupun praktis, berkaitan dengan pokok-pokok masalah yang dibahas. Saran-saran sebaiknya realities dan argumentasi, sehingga tidak tampak sekedar sebagai daftar usul yang tidak relevan dengan rangkaian penelitian.
d)     Daftar Pustaka
Daftar Pustaka adalah daftar rujukan, baik berupa buku-buku, Koran, terbitan khusus, situs internet, dan sebagainya, yang benar-benar menjadi rujukan dalam penyusunan karya tulis ilmiah atau makalah. Dengan kata lain, yang dimasukkan dalam daftar pustaka ini hanyalah rujukan yang dijadikan sebagai sumber bacaan dan kitipan, baik langsung maupun tidak sebagaimana yang tercantum dalam karya tulis ilmiah.

      Daftar pustaka merupakan salah satu persyaratan bagi setiap karya tulis ilmiah. Melalui daftar pustaka, pembaca akan dapat dengan mudah mengetahui keseluruhan sumber rujukan yang digunakan penulis dalam karya ilmiah, dengan  demikian, kualitas karya ilmiah tersebut dapat di ukur secara objektif.


CARA MEMBUAT DAFTAR PUSTAKA

1.      Referensi yang di ambil dari buku
Dalam daftar pustaka, judul buku dicetak miring. Urutan penulisan sebagai berikut : Nama pemgarang, tahun terbit, judul buku, nama penerbit dan kota penerbit.[2]
Contoh: ( Buku A Histiry of God, dikarang oleh Keren Armastrong, diterbitkan oleh Ballantine Books, di kota Noe York, pada tahun 1994)

Maka : Armastrong, Keren. 1994. A Histiry of God. Ballantine Books, New York.
2.      Referensi yang di ambil dari internet.
Nama penulis. (Tahun posting). Judul Artikel. Tersedia: Alamat URL artikel. (Tanggal diakses)
Soetomo, R. (2002). Jihad dan Terorieme. Tersedia: http://pemikiranislam.wordpress.com/2009/11/11/jihad-dan-terorisme/. (11 November 2009)


[1] Tim pengajar  KTI, pada diklat profesi  guru LPTK Fakulta Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar.


[2] Indriati Etty, 2006,  Menulis Karya Ilmiah, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakatra.

SEJARAH PERWAKAFAN


Tugas Mata Kuliah     : Perwakafan
Mata Kuliah                : Dr.H.Muslimin Kara,M.Ag.

PERWAKAFAN
(Sejarah Perwakan di Indonesia)



DISUSUN OLEH:
KELOMPOK I

1.      RIZKA NADIRAH              (10200111076)
2.      SAPPEAMI                           (10200111077)
3.      SAPRIL                                 (10200111078)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2012


KATA PENGANTAR

            Segala puji dan syukur kehadirat allah SWT, Tuhan semesta alam , atas segala karunia, rahmat, hidayah dan taufik-NYA penulis memiliki kekuatan dan kesabaran untuk menyelesaikan makalah  ini meskipun penulis mengakui bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.Shalawat serta salam semoga tetap dilimpahkan kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, para sahabat,dan semua penganut ajarannya.
Penulis berusaha menyajikan makalah ini secara sederhana praktis dan sistematis agar mudah dihayati dan dipelajari oleh mahasiswa khususnya para mahasiswa dan mereka yang berminat terhadap materi yang membahas tentang SEJARAH PERWAKAFAN DI INDONESIA.
Adapun diantara maksud penulisan makalah ini antara lain adalah membantu para mahasiswa khususnya dan semua ummat islam umumnya yang ingin maju dan memiliki wawasan luas mengenai SEJARAH PERWAKAFAN DI INDONESIA sangat banyak ilmu yang berkaitan dengan PERWAKAFAN sehingga akan banyak mengalami kesulitan dalam mempelajari dan mengamalkannya semoga penulisan makalah ini dapat membantu kesulitan tersebut.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua teman-teman yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Am
 Makassar,8November2010                                                                                                                             

                                                                        Kelompok I

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Wakaf yang berasal dari lembaga hukum Islam telah diterima oleh hukum adat bangsa Indonesia sejak dahulu di berbagai daerah di Nusantara ini. Praktek mewakafkan tanah untuk keperluan umum terutama untuk keperluan peribadatan atau sosial seperti masjid, surau, sekolah, madrasah, dan kuburan telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia sejak dulu. Hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah Swt. dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk mengejawantahkan nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan sosial maupun keadilan ekonomi.
Salah satu institusi atau pranata sosial Islam yang mengandung nilai sosial ekonomi adalah lembaga perwakafan. Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah Swt., lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, karena akan melahirkan eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap kelompok mayoritas (si miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka ragam.
Wakaf telah disyari'atkan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di negara Indonesia. Menurut Ameer Ali, hukum wakaf merupakan cabang yang terpenting dalam syari'at Islam, sebab ia terjalin kepada seluruh kehidupan ibadat dan perekonomian sosial kaum muslimin.
Peraturan tentang wakaf yang bertujuan untuk mengatur dan mengawasi tanah wakaf telah banyak dikeluarkan sejak zaman pemerintah Kolonial Hindia Belanda, pemerintah zaman kemerdekaan sampai terbitnya perundang-undangan yang mengatur tentang perwakafan, antara lain Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik jo. PMDN No. 6 Tahun 1977 dan PMA No, 1 Tahun 1978, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaiman sejarah perwakafan itu?
2.      Bagaimanakah sejarah perwakafan di Indonesia?
3.      Bagaimana peraturan perwakafan di Indonesia?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana sejarah perwakafan itu.
2.      Untuk mengetahui bagaimana sejarah perwakafan di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui bagaimana peraturan perwakafan di Indonesia.















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Perkembangan Wakaf
Dalam ajaran Islam, peninggalan wakaf yang pertama kali dikenal dalam masyarakat Arab pra Islam adalah Al-Ka’bah Al-Musyarafah yaitu rumah peribadatan pertama yang dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s sebagai tempat untuk berkumpul (Haj) dan tempat yang aman bagi manusia. Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan masyarakat Arab waktu itu kemudian menjadikan Ka’bah sebagai pusat penyembahan berhala, dengan keyakinan bahwa penyembahan berhala tersebut merupakan salah satu upaya pendekatan diri kepada Allah. Selanjutnya setelah diutusnya nabi Muhammad saw syari’at Islam mengaturnya lebih jelas dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dan diikuti oleh para sahabatnya. Dalam sejarah pembinaan hokum Islam, amal wakaf telah dikenal semenjak masa Rasulullah, walaupun pada saat itu belum menggunakan term tersebut. Selanjutnya para ulama berbeda pandapat mengenai siapa orang yang pertama melaksanakan praktik wakaf, sebagian mereka mengatakan Rasulullah adalah orang yang pertama melaksanakan praktik wakaf, sedangkan yang lein mengatakan Umar Bin Khattab. Perbedaan pendapat ini bersumber dari perbedaan ulama’ sahabat.
Ada pendapat yang menyebutkan bahwa  pemula adanya wakaf dalam Islam ialah tanah yang diwakafkan oleh Rasulullah Saw. Untuk mesjid, pendapat ini berdasarkan suatu riwayat dari Umar bin Muadz sebagai berikut[1]
kami bertanya tentang permulaan wakaf dalam islam, orang muhajirin menyatakan adalah Umar, sedang orang-orang anshar menyatakan Rasulullah Saw.”
Pada masa Islam, kita ketahui bahwa wakaf pertama dalam tasyri’ Islam adalah wakaf masjid yang dibangun umat Islam bersama Rasulullah di Quba pada tahun 622 M. Selanjutnya adalah wakaf masjid Nabawi di Madinah yang merupakan masjid terpenting kedua setelah masjid Haram di Makkah. Dalam kajian-kajian fiqh hadits yang cukup terkenal yang menunjukkan disayari’atkannya wakaf, selain Hadits Umar bin Khattab adalah hadits Abu Thalhah riwayat Muslim dan Anas bin Malik; Abu Thalhah adalah sahabat yang paling banyak kebun kormanya di Madinah. Harta yang paling ia cintai adalah Bairaha’ yang tepat berhadapan dengan masjid Nabi. Setelah turun dan dibacakannya ayat 92 Surat Ali Imran, maka Abu Thalhah berdiri dan mengatakan: “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairaha’, ia kami sedekahkan kepada Allah, kami hanya mengharapkan kebaikan dan pahalanya di sisi Allah. Pergunakanlah kebun itu sesuai dengan petunjuk Allah.” Maka Rasulullah pun menerima wakafnya dan memberikan petunjuk-petunjuk tentang penggunaan hartanya tersebut. (Abdul Wahab, Al-Waqf, 39). Selanjutnya permasalahan wakaf menjadi wacana fiqhiyah yang dibicarakan secara panjang lebar oleh para fuqaha’ berkenaan pengertian, syarat-syarat dan rukun wakaf, syarat-syarat wakif, syarat-syarat harta wakaf, syarat sasaran wakaf serta ketentuan-ketentuan lain berkaitan dengan pemberdayaan lembaga wakaf. Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat. Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya
2.2 Sejarah perkembangan wakaf di Indonesia
Sejarah perkembangan wakaf di Indonesia sejalan dengan penyebaran Islam di seluruh wilayah nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga mengajarkan wakaf pada umat. Kebutuhan akan tempat beribadah, seperti masjid, surau, mendorong umat Islam untuk menyerahkan tanahnya sebagai wakaf. Ajaran wakaf di bumi Nusantara terus berkembang terbukti dengan banyaknya masjid-masjid bersejarah yang dibangun di atas tanah wakaf. Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat Islam, praktek perwakafan mengalami kemajuan dari waktu ke waktu.

Perkembangan wakaf di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kurun waktu, yaitu :
1. Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia :
Wakaf merupakan suatu lembaga ekonomi Islam yang eksistensinya sudah ada semenjak awal kedatangan Islam. Wakaf adalah lembaga Islam kedua tertua di Indonesia setelah (atau bersamaan dengan) perkawinan. Sejak zaman awal telah dikenal wakaf masjid, wakaf langgar / surau dan wakaf tanah pemakaman di berbagai wilayah Indonesia. Selanjutnya muncul wakaf tanah untuk pesantren dan madrasah atau wakaf tanah pertanian untuk membiayai pendidikan Islam dan wakaf-wakaf lainnya.
Pada mulanya lembaga wakaf di Indonesia sering dilakukan oleh umat Islam, sebagai konsekuensi logis banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Sekalipun lembaga wakaf merupakan salah satu pranata Islam, tetapi seolah-olah sudah merupakan kesepakatan diantara para ahli hukum bahwa pewakafan merupakan masalah dalam Hukum Adat Indonesia, sebab diterimanya lembaga berasal dari suatu kebiasaan dalam pergaulannya. Sejak itu persoalan wakaf telah diatur dalam Hukum Adat yang sifatnya tidak tertulis dengan mengambil sumber dari Hukum Islam.
Sewaktu Belanda mulai menjajah Indonesia lebih kurang tiga abad yang lalu, maka wakaf sebagai lembaga keuangan Islam telah tersebar di berbagai persada nusantara Indonesia. Dengan berdirinya Priesterrad (Rad Agama / Peradilan Agama) berdasarkan Staatsblad Nomor 152 pada tahun 1882, maka dalam praktek yang berlaku, masalah wakaf menjadi salah satu wewenangnya, di samping masalah perkawinan, waris, hibah, shadaqah dan hal-hal lain yang dipandang berhubungan erat dengan agama Islam. Pengakuan Belanda ini berdasarkan kenyataan bahwa penyelesaian sengketa mengenai masalah wakaf dan lain-lain yang berhubungan dengan hukum Islam diajukan oleh masyarakat ke Mahkamah Syar’iyyah atau Peradilan Agama lokal dengan berbagai nama di berbagai daerah di Indonesia.
Pada masa ini (baca juga penjajah), telah dikeluarkan berbagai peraturan yang mengatur tentang wakaf, antara lain :
a. SE Sekretaris Govememen pertama tanggal 31 Januari 1905 Nomor 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht op den bouw van Mohammaedaansche bedehuizen.
b.    SE Sekretaris Govememen tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361 yang termuat dalam Bijblad 1931 Nomor 125/3 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammaedaansche, Vridagdiensten en wakaf.
c.    SE Sekretaris Govememen pertama tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A sebagaimana termuat dalam Bijblad tahun 1934 Nomor 13390 tentang Toezicht van de Regeering op mohammaedaansehe bedehuize, Vrijdag diensten en wakafs.

2.    Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia :
Peraturan-peraturan tentang perwakafan yang dikeluarkan pada masa penjajah Belanda, sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agusus 1945 masih tetap berlaku berdasarkan bunyi pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.  Maka untuk menyesuaikan dengan Negara Republik Indonesia dikeluarkan petunjuk Menteri Agama RI tanggal 22 Desember 1953 tentang Petunjuk-petunjuk mengenai wakaf, menjadi wewenang Bagian D (Ibadah Sosial), Jawatan Urusan Agama, dan pada tanggal 8 Oktober 1956 telah dikeluarkan SE Nomor 5/D/1959 tentang Prosedur Perwakafan Tanah.
Dalam rangka penertiban dan pembaharuan sistem Hukum Agraria, masalah wakaf mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah nasional, antara lain melalui Departemen Agama RI. Selama lebih tiga puluh tahun sejak tahun 1960, telah dikeluarkan berbagai Undang-undang, Peraturana Pemerintah, Peraturan Menteri, Insturksi Menetri / Gebernur dan lain-lain yang berhubungan karena satu dan lain hal dengan masalah wakaf.
Dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, yang pada intinya menyatakan benda wakaf adalah hukum agama yang diakui oleh hukum adat di Indonesia, di samping kenyataan bahwa hukum adat (al-‘uruf) adalah salah satu sumber komplementer hukum Islam. Sehingga dalam pasal 29 ayat (1) UU yang sama dinyatakan secara jelas tentang hak-hak tanah untuk kepelruan suci dan sosial. Wakaf adalah salah satu lembaga keagamaan dan sosial yang diakui dan dilingdungi oleh UU ini.

3.    Era Peraturan Perudang-undangan Republik Indonesia :
Sebagaimana yang diketahui peraturan tentang perwakafan tanah di Indonesia masih belum memenuhi kebutuhan maupun dapat memberikan kepastian hukum, dari sebab itulah seuai dengan ketentuan pasal 49 ayat (3) UUPA, pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977 menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan berlakunya peraturan ini maka semua peraturan perundang-undangan tentang perwakafan sebelumnya yang bertentangan dengan PP Nomor 28 Tahun 1977 ini dinyatakan tidak berlaku.
Dalam rangka mengamankan, mengatur dan mengelola tanah wakaf secara lebih baik maka pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya juga mengatur masalah wakaf, sehingga setelah munculnya Inpres ini, kondisi wakaf lebih terjaga dan terawat, walaupun belum dikelola dan dikembangkan secara optimal.
Pada tanggal 11 Mei 2002 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (cash wakaf/ waqf al nuqud) dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya. Dan atas dukungan political will Pemerintah secara penuh salah satunya adalah lahirnya  Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya (UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf).
Dari pasal undang-undang ini telah mewacana yang mengemuka tentang wakaf tunai dan realitas respon dari berbagai kalangan menjadi dasar pemikiran pentingnya penyusunan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang di dalamnya memuat aturan tentang wakaf tunai. Karena Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, sebagai satu-satunya peraturan perundang-undangan tentang wakaf sama sekali tidak mengcover masalah tersebut, Undang-undang ini diharapkan dapat memberikan optimisme dan keteraturan dalam pengelolaan wakaf secara umum dan wakaf tunai secara khusus di Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan.

            Lembaga wakaf yang berasal dari agama islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu, suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda Wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tidak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kpada masyarakat banyak.
            Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wahak Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKi), dan lain-lain. di Indonesia sendiri , saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang pelaksanaanya.
Belakangan, wakaf mengalami perubahan paradigma yang cukup tajam. Perubahan paradigma itu terutama dalam pengelolaan wakaf yang ditujukan sebagai instrumen menyejahterakan masyarakat muslim. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan adalah endekatan bisnis dan manajemen. Konteks ini kemudian dikenal dengan wakaf produktif. Ahmad junaedi dan kawan-kawan menawarkan dua halyang berkaitan dengan wakaf produktif,
Pertama, asas paradigma baru wakaf, yaitu asas keabadian manfaat, asas pertanggung jawaban/responsibility, asas profesionalitas manajemen, dan asas keadilan.
Kedua, aspek paradigma baru wakaf, yaitu pembaruan/reformasi pemahaman mengenai wakaf, sistem manajemen kenazhiran/ manajemen sumber daya insani, dan sistem rekrutmen wakif[2]
Wakaf dalam konteks kekinian memiliki tiga ciri utama, pertama, pola manajemen wakaf harus terintegrasi: dana wakaf dapat dialokasikan untuk program-program pemberdayaan dengan segala macam biaya yang tercakup di dalamnya. Kedua, asas kesejahteraan nazir. Pekerjaan sebagai nazir tidak lagidiposisikan sebagai profesional yang bisa hidup dengan layak dari profesi tersebut. Ketiga, asas transparansi dan tanggung  jawab. Badan dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan proses pengelolaan dana kepada umat setiap tahun.[3]
Walaupun beberapa aturan telah dibuat oleh pemerintah terkait dengan makanisme wakaf, seperti PP Noor 28 Tahun 1977 tetang perwakafan tanah milik, akan tetapi PP ini hanya mengatur wakaf pertanahan saja. Ini berarti tak jauh beda denan model wakaf pada periode awal, identik dengan wakaf tanah, dan kegunaannya pun terbatas pada kegiatan sosial keagamaan, seperti masjid, kuburan, madrasah, dan lain-lain.
Dalam perjalanannya, Peraturan Pemerintah ini bertahan cukup lama dan tidak ada aturan lain yang dibentuk hingga tahun 2004. Karena minimnya regulasi yang mengatur tentang perwakafan, maka tidaklah heran jika perkembangan wakaf di Indonesia mengalami stagnasi. Walaupun cukup banyak lembaga wakaf yang berdiri, akan tetapi hanya sebagian kecil lembaga wakaf (nazhir) saja yang mampu mengelola harta benda wakaf secara optimal. Sehinga dapat dikatakan bahwa perkembanan wakaf di Indonesia belum mampu memberikan kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Stagnasi perkembangan wakaf di Indonesia mulai mengalami dinamisasi ketika pda tahun 2001, beberapa praktisi ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai konsep baru pengelolaan wakaf tunai untuk peningkatan kesejahteraan umat. Ternyata konsep tesebut menarik dan mampu memberikan energy untuk menggerakkan kemandegan perkembangan wakaf. Kemudian pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (waqf al-nuqud). Fatwa MUI tersebut kemudian diperkuat oleh hadirnya UU No. 41/2004 tentang wakaf yang menyebutkan bahwa wakafa tidak hanya benda tidak bererak, tetapi jua dapat berupa benda bergerak, seperti uang. Selain itu, diatur pula kebijakan perwakafan di Indonesia, mulai dari pembentukan nazhir sampai dengan pengelolaan harta wakaf.[4]
           

2.3  Peraturan Perwakafan di Indonesia
Aturan wakaf sudah ada sejak jaman Hindia Belanda hingga jaman kemerdekaan. Tetapi secara administrative baru dimulai pada tahun 1905 dengan adanya pendaftaran tanah wakaf berdasar surat edaran sebagai berikut:
  1. Surat Edaran Sekretaris Gubernement (SESG) tanggal 31 Januari 1905 (Bijblaad 1905, Nomor 6169) tentang perintah kepada Bupati untuk membuat daftar wakaf dan sejenisnya.
  2. SESG tanggal 4 April 1931 (Bijblaad 1931, Nomor 12573) sebagai pengganti Bijblaad sebelumnya yang berisi perintah kepada Bupati untuk meminta Ketua Pengadilan Agama untuk mendaftar tanah wakaf.
  3. SESG tanggal 24 Desember 1934 (Bijblaad 1934, Nomor 13390) tentang wewenang Bupati untuk menyelesaikan sengketa wakaf.
  4. SESG tanggal 27 Mei 1935 (Bijblaad 1935, Nomor 13480) tentang tata cara perwakafan.
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 maka sejak tanggal 24 Desember 1960 dibentuklah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) yang mengandung ketentuan sebagai berikut:
  1. Berdasarkan pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, Peraturan Wakaf  Hindia Belanda dinyatakan tetap berlaku dengan dikeluarkannya petunjuk dari Departemen Agama melalui Surat Edaran Nomor 5/D/1956 tentang prosedur perwakafan tanah, tanggal 8 Oktober 1956.
  2. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria dan Menteri Agama tanggal 15 Maret 1959 Nomor 19/22/37-7, SK 62/KA/1959 tentang pengesahan tanah milik dialihkan kepada Kepala Pengawas Agraria Karesidenan yang pelaksanaannya diatur dengan Surat  Keputusan Jawatan Agraria kepada Pusat Jawatan Agama tanggal 13 Februari 1960 Nomor 23/1/34-11.
  3. Diundangkannya UUPA Nomor 5 tahun 1960, pada bagian XI tertera bahwa untuk keperluan suci dan sosial (pasal 49 ayat 3) ditentukan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
  4. Pada tanggal 17 Mei 1977 ditetapkan PP Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 49 ayat 3 Undang-Undang Pokok Agraria di atas.
  5. Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1992 yang menetapkan Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya juga memuat Hukum Perwakafan.
  6. Pada tanggal 21 Oktober 2004, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan pada tanggal 15 Desember 2006 pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya.








BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dalam ajaran Islam, peninggalan wakaf yang pertama kali dikenal dalam masyarakat Arab pra Islam adalah Al-Ka’bah Al-Musyarafah yaitu rumah peribadatan pertama yang dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s sebagai tempat untuk berkumpul (Haj) dan tempat yang aman bagi manusia. Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya. Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat Islam, praktek perwakafan mengalami kemajuan dari waktu ke waktu.
Perkembangan wakaf di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kurun waktu, yaitu :Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia,Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia,Era Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia.

3.2 Saran
Lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam.Oleh karena itu dengan mewakafkan harta maka akan memperkecil terjadinya eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap kelompok mayoritas (si miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka ragam karena prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang.Dan mewakafkan harta mengandung nilai ibadah.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Muslimin, Kebijakan Perbankan Syariah di Indonesia, Makassar : Alauddin prees, 2011
2.      Halim Abdul, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: Ciputat Prees, 2005
3.      Muzarie Mukhlisin, Hukum Perwakafan dan Implikasinya Terhadap Kesejahteraan Masyarakat, Departemen Kementrian Agama, 2010





1.       [1] Halim Abdul, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: Ciputat Prees, 2005, hal 14.

[2] Ahmad Djunaedi dkk, Paradigma Baru Wakaf di indonesia, (Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI. 2005), hlm. 63
[3] Muhammad Syafii Antonio, Pengantar Pengelolaan Wakaf Secara Produktif, (Jakarta: Mumtaz Publishing 2007), Cet. Ke-4, hlm. Viii.
[4] Prof. Dr. KH. Tholhah Hasan (Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia), Perkembangan Kebijakan Wakaf di Indonesia,14 Maret 2008.