html

javaScript

html

javaScript

Rabu, 07 September 2016

ISLAM DAN MASALAH KENEGARAAN (Studi tentang Percaturan dalam Negara)

ISLAM DAN MASALAH KENEGARAAN
(Studi tentang Percaturan dalam Negara)
(Ahmad Syafii Maarif)

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Iskandar Zulkarnaen. MA.
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam

Oleh:
Sappeami             5913033

PROGRAM PASCASARJANA
KONSENTRASI EKONOMI ISLAM
MAGISTER STUDI ISLAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2015



A.      Latar Belakang
Menurut al-Qur’an Islam sudah ada sebelum Nabi Muhammad saw. ketika Nabi Adam diutus ke dunia, agama Islamiyah yang dibawanya, Islam adalah agama yang diturunkan Oleh Allah kepada seluruh umat manusia melalui perantara Rasul pilihan-Nya, Nabi muhammad saw. ajaran ini bukan sama sekali baru tetapi merupakan kelanjutan dan perumpamaan agama-agama yang dibawa para Rasul sebelumnya (Q.S al-Anbiya:25).[1] Al-Quran sendiri tidak mengatur urusan politik secara khusus, tetapi hanya memerintahkan untuk menegakkan keadilan, kebajikan, memelihara perdamaian dan ketertiban.
Sistem politik adalah suatu bagian yang pasti ada di setiap Negara sistem politik sendiri berfungsi sebagai pengatur dan membuat peraturan untuk dipatuhi oleh seluruh warga negaranya. Politik dan agama adalah sesuatu yang terpisah. Pembentukan pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain. Jadi, pembentukan negara modern didasarkan pada kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar agama. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Taimiyah bahwa Politik atau negara hanyalah sebagai alat bagi agama bukan suatu ekstensi dari agama.[2]
Pemerintahan yang berlaku pada masa Rasulullah dan khalifah bukanlah diturunkan Allah dari langit. Wahyu Allah hanya mengarahkan Rasul dan kaum muslimin untuk menjamin kemaslahatan umum, tanpa merenggut kebebasan mereka untuk memikirkan usaha-usaha menegakkan kebenaran, kebajikan, dan keadilan.
Islam di Indonesia adalah suatu agama yang hidup dan vital, yang kini sedang terlibat proses tranformasi dari posisi kuantitas ke posisi kualitas[3]. Menurut Ahmadi Syafii Maarif dua kata kunci yang harus dipahami dalam mengkaji hubungan Islam dan Politik yaitu Islam sejarah dan Islam cita-cita[4]. Islam sejarah yaitu islam sebagaimana dipahami kedalam konteks sejarah oleh umat Islam dalam jawaban mereka terhadap tantangan sosial politik dan kultural yang dihadapkan kepada mereka sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sedangkan Islam cita-cita sebagaimana yang dikandung dan dilukiskan oleh al-Qur’an dan sunnah otentik dari Nabi Muhammad saw., tetapi belum tentu senantiasa terefleksi dalam realitas sosial-historis umat sepanjang abad. Islam cita-cita ini merupakan pendorong bagai berbagai pendorong sosial-politik Islam sepanjang sejarah.
Sejak 1950 hingga sekitar 1959, dekade yang dikenal sebagai periode demokrasi konstitusional, Indonesia beroperasi di bawah UUD 1950. Perdebatan tentang masalah dasar negara berlangsung dengan sengitnya sampai majelis Konstituante dibubarkan oleh presiden soekarno pada bulan Juli 1959 dalam usahanya menciptakan suatu tatanan politik baru yang dikenal dengan sebutan DemokrasiTerpimpin (1959-1965)[5]. Pada saat itu ada tiga rancangan (draft)  tentang dasar negara yang diajukan yaitu: Pancasila, Islam dan Sosial-Ekonomi. Tapi yang terakhir ini, yang diajukan oleh partai Murba dan partai Buruh hanya didukung oleh sedikit angguta, hingga akhirnya perdebatan didominasi antara ideologi Islam dan Pancasila.[6]
Akar perdebatan antara kelompok Islam Politik dan kelompok Nasionalis-Sekular bersumber dari masa sebelum kemerdekaan. Perdebatan antara Natsir dan Soekarno pada tahun 1930-1940 tentang hubungan antara negara dan agama berlanjut hingga sidang BPUPKI. Perdebatan dalam sidang BPUPKI antara kelompok yang mengajukan argumen bahwa Indonesia sebagai negara sebaiknya mengacu pada ideologi kebangsaan, dan kelompok yang mengajukan Islam sebagai dasar negara. Perdebatan antara kedua kubu tersebut dalam sidang BPUPKI akhirnya diselesaikan dengan “Piagam Jakarta”. Perdebatan tersebut merupaka suatu problem dalam suatu negara yang harus diketahui oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Alasan utama Ahmad Syafii Maarif melakukan studi ini karena belum adanya studi yang lengkap tentang masalah dasar negara, sehingga ia mengaharapkan dengan pengkajian studi yang dilakukan dapat memberikan kejelasan tentang watak dan arti Islam dalam sejarah moderen Indonesia, terutama dalam hubungannya dengan perkembangan dan perubahan politik di negeri ini. Dan juga mayorotas bangsa Indonesia belum memahami betul arti Islam bagi manusia, baik untuk kehidupan individu maupun kehidupan kolektif.
Untuk lebih memperdalam pengetahuan mengenai Islam dan masalah kenegaraan khususnya percaturan dalam konstituante penulis melakukan penelitian kembali tentang masalah ini. Penulis termotivasi dengan ucapan Syafii Maarif yang mengatakan “Karena kesadaran akan pentingnya menutup jurang antar islam sejarah dan islam pada masa moderen, maka intensitas kegiatan dakwah islam semakin disemangatkan dan semakin meluas, terutama dikalangan anak muda Indonesia dan dalam beberapa kasus juga dikalangan kelompok-kelompok etis cina, suatu gejala yang sangat menarik untuk diamati lebih jauh”.Maka dengan penelitian ini penulis menginginkan  adanya kesadaran bagi umat Islam Indonesia pada umumnya untuk mengkaji lebih dalam ajaran-ajaran etik al-Qur’an dan Sunnah Nabi dan memulai suatu langkah yang segar bagi rekonstruksi sosial-politik dan moral Islam.
  
B.       Permasalahan
           Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan diatas maka adapun permasalahan yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah pandangan syafii maarif terhadap islam sebagai dasar negara?
2.      Apakah penyebab munculnya permasalahan politik Islam di Indonesia?
3.      Bagaimanakah pandangan Syafii Maarif terhadap perdebatan dalam Konstituante?

C.      Telaah Hasil Penelitian Terdahulu
Berikut adalah hasil karya yang telah dilakukan oleh para peneliti antara lain;
1.      Penilitian yang dilakukan oleh Drs. Abdul Aziz Thaba, MA. Yang berjudul Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, dalam penelitiannya mencoba melihat bagaimana hubungan antara Islam dan negara selama pemerintahan orde baru. Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pejuang umat Islam harus berada ditingkat negara dengan melakukan “penetrasi nilai” terhadap kelompok-kelompok elit politik yang ada, sandarannya kepada Habibie dengan ICMI-nya dan elit-elit politi lainnya. Tokoh-tokoh Islam harus mampu melakukan “tawar-menawar” politik yang menguntungkan ummat.[7]
2.      Penelitian yang dilakukan oleh Tariq Ramadhan yang membahas tentang hubungan Islam, Barat dan modernitas dari perspektif Islam dan masyarakat muslim, dalam penelitiannya disimpulkan bahwa Kaum Muslim mampu memberi respon terhadap beragam tantangan kontemporer tanpa harus mengingkari identitas diri mereka, berebekal sumber-sumber Islam kaum Muslim dapat menjalani epos kemoderenan dengan mempersiapkan tatanan sosial, politik, dan ekonomi mereka, yang senantiasa terkait dengan nilai-nilai etis, tujuan dan cita-cita rasa spiritualitasnya.[8]
3.      Tesis Saifuddin Anshari yang berjudul The Jakarta Charter of June 1945: A History of the Gentlemen’s Agreement between the Islamic and the Secular Nationalist in Modern Indonesia. Membahas perdebatan antara kelompok Islam dan kelompok Nasionalis-Sekuler tentang Islam atau Pancasila sebagai dasar negara. Dalam penelitian ini, Anshari menemukan bahwa problem Piagam Jakarta menjadi salah-satu penyebab mengapa perdebatan soal dasar negara tidak pernah tuntas hingga dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan sebagai respon atas kebuntuan dalam persidangan Majelis Konstituante.[9]

D.      Metodologi
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan  oleh Ahmad Syafii Maarif adalah deskriptif-historis yaitu mendeskripsikan atau menggambarkan apa-apa yang terjadi pada masa lampau. Proses-prosesnya terdiri dari penyelidikan, pencatatan, analisis dan menginterprestasikan peristiwa-peristiwa masa lalu guna menemukan generalisasi, dan generalisasi tersebut dapat berguna untuk memahami masa lampau juga keadaan masa kini bahkan secara terbatas bisa digunakan untuk mengantisipasi hal-hal mendatang, dan Analitis-Evaluatif, Analitis adalah mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik, evaluatif merupakan pemilihan ulang terhadap informasi peristiwa masa lalu dari sumber referensi yang sesuai.
  
E.       Ruang Lingkup Penelitian
1.      Islam dan Cita-cita Politik
Islam adalah firman Allah, kata “Islam” dalam pemikiran politik Islam” menunjuk kepada sifat partikularistik kajian ini yang dibatasi oleh nilai-nilai normatif yang berasal dari ajaran-ajaran Islam.
Perhatian utama al-Qur’an ialah memberikan petunjuk yang benar kepada manusia, yaitu petunjuk yang akan membawanya kepada kebenaran dan suasana kehidupan yang baik. Sebagai suatu petunjuk bagi manusia, al-Qur’an menyediakan suatu dasar yang kukuh dan tak berubah bagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang perlu bagi kehidupan.[10]
Dilihat dari sudut pandang seorang muslim tujuan suatu negara Islam adalah untuk memelihara keamanan dan integritas negara, menjaga hukum dan ketertiban, dan untuk memajukan negeri itu dapat merealisasikan seluruh potensinya sambil memberikan sumbangan bagi kesejahteraan semua.[11]
Al-Qur’an nampaknya tidak tertarik pada teori khas tentang negara yang harus diikuti oleh umat Islam. Perhatian pertama al-Qur’an ialah agar masyarakat ditegakkan atas keadilan dan moralitas. Maka atas dasar nilai-nilai etik al-Qur’anlah bangunan politik Islam wajib ditegakkan. Tapi karena al-Qur’an tidak menegaskan bentuk khas suatu negara, maka model dan struktur ketatanegaraan Islam bukanlah suatu yang dapat diubah, ia senantiasa terikat dengan perubahan, modifikasi dan perbaikan menurut kebutuhan waktu dan ummat.[12]
Dari al-Qur’an orang dapat melihat bahwa periode akhir hanyalah kelanjutan dan pengembangan dari periode awal. Jika disana nampak perbedaan, hal itu terutama terletak dalam kenyataan bahwa Nabi tidak punya kekuasaan politik untuk menyongking misi kenabiannya pada masa Makkah, sementara di Madinah ia “sebagai seorang kepala politik agamanya”.
Pada masa kerasulan Nabi Muhammad saw. yang berlangsung selama 23 tahun terbagi atas dua periode yaitu, periode Makkah yang berlangsung selama 13 tahun dan periode Madinah selama 10 tahun.[13]                                                                                                                                                                            
Setelah wafatnya Rasulullah saw., pertemuan dibalai Banu Sa’idah menjadi titik tolak yang sangat penting dalam  sejarak politik Islam pada masa awal, pertemuan ini disebut sebagai pelaksanaan syura pertama dikalangan umat sejarah. Pada hari berikutnya pemilihan Abu Bakar dikuatkan oleh ijma’ umat Islam dan ijma’ pertama inilah yang menjadi dasar bagi teori politik golongan sunni.
Pada masa al-Khulafa al-Rasyidin (11-41H/632-661M), bentuk negara lebih tepat disebut sebagai republik, karena sistem pemilihan kepala negara dilakukan dengan cara pemilihan/pengangkatan oleh rakyat atau wakilnya serta berdasarkan kriteria keshalehan, kemampuan dan prestasinya bukan berdasarkan kriteria keluarga.[15]
Setelah pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidin dilanjutkan era Bani Umayyah berlangsung tahun 611-750M yang dipimpin oleh Muawiyah dan beberapa khalifa yang menonjol pada masa itu, dan kemudian pada tahun 750 M digantikan oleh dinasti Abbasyiah. Sementara itu sangat penting untuk diingat bahwa lebih dari tiga abad setelah Nabi mendirikan tatanan sosial politik Islam di Madinah, baru para yuris muali berspekulasi dan menyusun teori politik mereka, yaitu pada saat pemerintahan Abbasyiah mengalami kemunduran.
Pemikiran politik yang berkembang dalam dunia Islam dapat dibedakan atas tiga periode, yaitu: masa klasik, masa pertengahan, dan masa modern. Biasanya dua yang pertama digabungkan karena memiliki pokok-pokok pemikiran yang serupa. Ada enam pemikir yang hidup pada masa ini, yaitu: Ibnu Abi Rabi, Farabi, Mawardi, Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Kahldun. Adapun pemikir politik yang terkenal dalam abad Modern adalah: al-Afgani, Muhammad Abduh, Muhammad Ridha, Al-Raziq, Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Al-Maududi, Muhammad Husain Haikal, Muhammad Iqbal, Hassan al-Turbabi, Ismail al-Faruqi, Khursyid Ahmad, Abdul Aziz Sachedina, Imam Khomeini, Ali Syariati dan Sebagainya.[16]
2.      Islam dan Dasar Negara di Indonesia
Dalam majelis konstituante, pada mulanya ada tiga rancanga (draft) tentang dasar negara yang diajukan oleh tiga fraksi. Ketiganya ialah: Pancasila, Islam dan Sosial-Ekonomi.[17] Berikut akan dibahas beberapa teori negara Islam:
Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak awal, umat Islam Indonesia, modernis dan sayap pesantren telah memilih sistem politik demokrasi. Menurut padangan mereka, demokrasi adalah mekanisme politik yang lebih baik yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita politik Islam. Negara Islam muncul dipermukaan bumi pertama kali dalam sidang BPUPKI.
Dalam pidato Natsir baerdalil bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Sirkularisme (La-diniyah), atau paham agama (dini). [18] kata Natsir “negara itu harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat.Mengupas masalah hubungan Islam dengan negara, natrsir mendasarkan uraianya kepada Ayat al-Qur’an: XXVII:56.
“dan kami tidak jadikan jin dan manusia, melainkan supaya menyembah kepadaku”.
Dari ayat ini Natsir mengembangkan teorinya dengan mengatakan: “... seorang Islam hidup diatas dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, yakni hamba Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat. Selanjutnya didalilkan bahwa negara sebagai kekuatan dunia merupakan suatu yang mutlak bagi al-Qur’an, sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan ajaran-ajarannya dapat dilakasanakan dalam kehidupan nyata. Bagi pemimpin modernis ini, negara adalah alat bagi Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Allah demi keselamatan demi kesentosaan manusia.
Penulis modernis yang kedua ialah Zainal Abidin Ahmad, dia juga seorang pembela demokrasi yang gigih. Menurutnya, kedaulatan tertinggai dalam suatu negara Islam berada sepenuhnya di tangan rakyat. Dalam pidatonya di depaan Majelis Konstituante, Ahmad mengajukan dua alasan pokok mengapa umat Islam dipilihnya sebagai dasar negara. Pertama, kelompok penguasa harus mendapat persetujuan dari golongan rakyat mayoritas, kedua, golongan minoritas haruslah terjamin hak-haknya.[19]
Selanjutnya teori menurut Muhammad Asad “suatu negara dapat menjadi benar-benar islami hanyalah dengan keharusan pelaksanaan yang sadar dari ajaran Islam terhadap kehidupan bangsa, dan dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam undang-undang negara.
Menurut Ahmad Syafii Maarif aspirasi menjadikan Islam sebagai dasar Negara yang dilakukan para tokoh islam di masa kemerdekaan jika di kaji lebih mendalam sesungguhnya tidak jelas aspirasi islam yang diperjuangkannya. Dimatanya tidak gambang menempatkan syarat islam ke dalam mekanisme kehidupan politik modern.[20] Islam tidak mempersalahkan apapun nama dalam bentuk pemerintahan, Islam hanya menekankan pentingnya moral etik dalam kehidupan bernegara.[21]
Dalam menolak pancasila dan mempertahankan Islam sebagai dasar negara partai-partai Islam bersatu, dan pada umumnya argumen yang biasa diajukan ialah bahwa pancasila merupakan “suatu perjanjian moral yang luhur” antara kaum nasionalis dan kelompok Islam.
Menurut profesor Drs. Notonagro S.H, baginya yang terpenting adalah bahwa kelahiran pancasila dan perkembangannya pada periode awal tidak dapat dipisahkan dari proses kelahiran Indonesia sebagai sebuah negara baru.
Bagi Hatta, sila Ketuhanan yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin sila-sila yang lain. Muhammad Natsir sebelum Pemilihan umum 1955 juga mengemukakan pandangan yang agak mirip dengan pendapat Hatta. Dalam pidatonya di muka The Pakistan Institute of World Affairs pada tahun 1952, Natsir berkata:
Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena penduduknya dan karena pilihan sebab ia menyatakan Islam sebagai agama negara. Begitu juga Indonesia adalah sebuah negeri Islam karena fakta bahwa Islam diakui sebagai agama rakyat Indonesia, sekalipun dalam konstitusi kami tidak dengan tegas dinyatakan sebagai agama negara. Tetapi Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan. Bahkan ia telah menaruh kepercayaan tauhid (monotheistic belief) kepada Tuhan pada tempat teratas dari pancasila- lima prinsip yang dipegang sebagai dasar etik, moral dan spiritual negara dan bangasa.[22]

Beberapa tahun sebelum meninggal Hatta mengingatkan: “dalam kehidupan sehari-hari  pancasila itu hanya diamalkan di bibir saja. Tidak banyak manusia Indonesia yang menanam pancasila itu sebagai keyakinan yang berakar dalam hatinya. Orang lupa, bahwa kelima sila itu berangkaian, tidak berdiri sendiri-sendiri.

3.      Islam di Indonesia
Ada beberapa pendapat mengenai masuknya Islam ke Indonesia antara lain: Islam masuk ke Indonesia Pada abad ke-8 Miladiyan dan yang kedua Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13. Dimana keduanya dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur transportasi yang dilakukan oleh para pedagang.
Islam di Indonesia berpangakap pada kota-kota pelabuhan, seperti Samudra Pasai, Malaka dan kota-kota pelabuhan lain dipesisir utara Jawa. Proses penyebaran Islam terjadi lewat beberapa saluran, yaitu; saluran perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan kesenian dan saluran politik. Melalui beberapa saluran penyebaran tersebut maka semakin banyak masyarakat yang memeluk agama Islam.
a.       Politik Islam Hindia Belanda
Pada mulaya, belanda datang ke Indonesia dalam rangka berdagang yaitu mendapatkan rempah-rempah di bumi nusantara yang harganya sangat mahal di Eropa. Kemudian ketika orang belanda yang datang semakin banyak maka pemerintah kerajaan Belanda mengesahkan berdirinya perseroan yang mengatur perdangangan tersebut yaitu VOC. Belanda adalah musuh nomor satu umat Islam, Pada masa ini Islam sebagai kekuatan pembebas berhadapan dengan politik kolonial Belanda.
Secara kasar, politik Belanda terhadap umat Islam di Indonesia dibagi menjadi dua prinsip: yaitu bercorak keagamaan dan bercorak politik. Hal ini berdampak di pada pemerintahan dan keagamaan terutama dampaknya dilapangan pendidikan tradisional, sehingga membuat umat Islam mendirikan kubu-kubu pendidikan baru di daerah pedalaman, dan disinilah mereka melancarkan perlawanan kultural keagamaan terhadap nila dan gagasan yang bercorak asing. Berawal dari sinilah sehingga gerakan Islam bermunculan yang diawali oleh NU yang merupakan gerakan Islam terbesar dengan latar belakang pesantren didirikan pada tahun 1926 di surabaya. Selain NU masih banyak gerakan-geraka  Islam yang lainnya seperti : Perti (persatuan Tarbiyah Islamiyah), al-Wasliyah, Nahdatul Wathan di Lombok, dan PUI di Jawa Barat.
Kegiatan belajar yang dilakukan pada masa ini bercorak tradisional yaitu dengan melakukan pembelajaran diberbagai pesantren yang mulanya tidak memiliki kurikulum terperinci, tidak memberi gelara atau sertifikat. Dalam pesantren otoritas kyai begitu dominan dan sangat dihormati, menurut kecamata modernis muslin pesantren tidak lebih dari suatu halaqah yaitu tempat para santri mengerumuni seorang kyai tertentu, tetapi antara mereka dengan pemahaman langsung al-Quran ada jarak tertentu, dan ini merupakan suatu kelemahan dari sistem pendidikan pesantren.
Sejak dekade kedua dan ketiga abad ke-20, Indonesia telah mengenal berbagai gerakan modernis Islam, seperti: Muhammdiyah, Persis, Al-Arsyad dan Serekat Islam.[23] Serikat Islam (SI) yang didirikan pada tanggal 11 November 1911 oleh H. Samnhudi, merupakan organisasi politik Indonesia abad ke-20 yang paling menonjol. Berbeda dengan Muhammadiyah yang bercorak sosio-keagamaan SI sejak semua adalah gerakan politik.[24]
Dan yang paling berpengaruh diantaranya adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H A. Dahlan  pada 18 November 1912,  karena berhasil mendirikan banyak sekolah dan madrasah, masjid, rumah sakit, klinik, rumah yatim piyatu dan lembaga sosial lainnya diseluruh kepulauan Indonesia. Pada masa ini para pejabat-pejabat Belanda di Indonesia memandang bahwa gerakan pada modernis ini tidak berbahaya bila dibandingkan dengan gerakan Nasional, sehingga Muhammadiyah mempunyai kesempatan yang baik untuk mengembangkan kegiatan sosial keagamaannya diseluruh Indonesia.
Menjelang berakhirnya era kolonial belanda partai-partai dan organisasi-organisasi Islam menyadari betapa pentingnya memperbaiki kumunikasi, sehingga para pemimpin-pemimpin islam baik dari Muhammdiyah NU, SI, Al-Arsyad, Al-Aslam (organisasi Islam lokal di Solo) dan lain-lain telah berhasil membentuk Suatu badan Federasi MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) di Surabaya pada tanggal 21 September 1937.
b.      Islam dan Penduduk Jepang
Tepat pada bulan Maret 1942, kekuasaan kolonial Belanda diusir dari Indonesia oleh pasukan jepang tanpa perlawanan yang berarti dari pihak penjajahan Belanda. Kedatangan jepang mula-mula disambut dengan antusias bukan saja oleh umat Islam tetapi juga oleh seluruh bangsa Indonesia.
Pemerintahan Jepang di Indonesia diawali dengan menciptakan Shumubu (Kantor Departemen Agama) di ibu Kota dan Shumuka di seluruh kepulauan Indonesia, dan juga pemerintahan Jepang membentuk pasukan Hizbullah (unit militer bagi pemuda Islam), dan disamping pasukan Hizbullah para pemimpin ummat juga membentuk Sabilillah (organisasi militer bagi Ulama). Pada bulan Oktober 1943 Jepang membubarkan MIAI dan membentuk federasi lain dengan nama Masyumi.
Melalui pengalaman yang didapatkan oleh para umat muslim sperti latihan administrasi dan kemiliteran selama periode kependudukan, sekalipun suasana kehidupan rakyat Indonesia sangat memprihatinkan, yaitu kemiskinan dan kesengsaraan yang amat sangat, semata-mata karena memenuhi ambisi perang jepang yang imperealistik itu, menurut Syafii Maarif Untunglah ambisi perang jepang ini cepat terpatahkan, bukan oleh kekuatan bangsa Indonesia, tapi oleh “amarah” Tuhan lewat tangan sekutu.
4.      Kemerdekaan Indonesia dan Kesadaran Politik Islam
Agar memperoleh gambaran yang agak tajam tentang gejolak politik Ummat Islam selama hari-hari persiapan kemerdekaan, maka kiranya perlu diikuti perkembangan dan konflik-kinflik politik antara berbagai golongan ideologo di Indonesia sekitar tiga bulan menjelang kemerdekaan.
Dalam sidang BPUPKI terjadi perdebatan antara golongan Islam dan golongan Nasionalis tentang dasar negara yang akan diberlakukan dinegara yang akan berdiri, dimana ada dua ada dua aliran Politik yang muncul dipermukaan: Islam dan aliran pemisahan negara dan Agama. Perli diketahui bahwa dalam pancasila sukarno, sila ketuhanan diletakkan sebagai sila kelima. Dengan demikian sukarno tidak menjadikan sila ketuhanan sebagai sumber moral bagi sila-sila yang lain. lebih dari itu, bagi sukarno pancasila dapat disarikan menjadi Trisila, yakni: 1 sosio-nasionalisme: 2 sosio-demokrasi: 3. Ketuhanan bahkan sila yang ketiga ini dapat diperas menjadi Ekasila dalam bentuk gotong-royong. Sudah pasti teori tipikal ini dipandang tidak masuk akal oleh setiap muslin yang sadar akan ajaran agamanya.
. Untuk membicarakan perbedaan itu lebih lanjut dibuatlah Panitia sembilan terdiri dari lima orang dari golongan nasional (Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad subarjo, Muh Yamin dan AA Maramis, sedangkan dari golongan Islam diwakili oleh: H. Agus Salim, Kyai Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkar. Akhirnya kompromi dicapai  pada tanggal 22 Juni 1945 dengan menambahkan tujuh patah kata dalam sila pertama menjadi “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat  Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

5.      Islam dalam masa Revolusi
 Kekalahan golongan Islam dengan terhapusnya Piagam Jakarta membuat mereka bersatu memikirkan suatu partai politik yang dapat menjadi payung bagi semua organisasi Islam, setelah pemerintah mengeliarkan maklumat Pemerintah No X tanggal 3 November 1945 tentang anjuran membentuk partai politik, kesempatan ini tidak disia-siakan umat Islam maka pada tanggal 7 November 1945 dibentuklah sebuah partai politik Islam dengan nama Masyumi. Pada mulanya yang masuk masyumi hanya empat organisasi, yaitu Muhamadiyah, NU, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam.
Kongres November telah melahirkan dua keputusan penting. Pertama, pembentukan sebuah partai politik dengan nama masyumi: Kedua, Kecuali Masyumi ummat Islam tidak memiliki partai politik lain. dalam anggaran dasar Masyumi ditegaskan secara gamblang bahwa: “tujuan partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia menuju keridhaan Ilahi.[25]
Antara tahun 1945-1949 segala potensi kekuatan sosial-politik di Indonesia diabadikan untuk mempertahankan kemerdekaan, setelah belanda datang membonceng pihak sekutu dan datang kembali untuk menjajah Indonesia. Menurut Syafii Maarif perjuangan Masyumi pada masa revolusi ini hampir total. Mereka menolak segala perundingan dengan Belanda karena dipandang menodai perjuangan.
Salah satu Masyumi peran yang tidak kalah penting dimainkan olehh Moh. Roem dalam perundinga RI-Belanda dimulai pada tanggal 14 April 1949, dikenal dengan perundingan Roem-Royen berkat perundingan ini konfrensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 23 Agustus-2 November 1949 berhasil dilangsungkan. Ketua delegasi Indonesia adalah Moh. Hatta dan Wakil ketua Moh. Roem. Penyerahan kedaulatan ditandatangani pada tanggal 29 Desember 1949, dengan demikian berakhirlah masa revolusi.
Dalam perkembangan sejarah pada tahun-tahun berikutnya, kesepakaatan pada Kongres November itu baik dalam teori maupun praktek tidak bertahan lama, pada bulan Juli 1947 PSII meninggalkan Masyumi, peristiwa ini dapat pula dipandang sebagai fenomena mulai merapuhnya ikatan dalam tubuh masyumi, pada tahun 1952 NU mengikuti jejak PSII, dan mengubah dirinya menjadi Jami’iyyah (gerakan sosio keagamaan), setelah keluarnya NU dari politik Masyumi parpol Islam diwakili oleh Masyumi, NU, PSII dan Perti. Menjelang periode demokrasi Terpimpin (1959-1965) sejarah indonesia moderen memasuki periode transisi setelah gagalnya demokrasi parlementer.

6.      Perdebatan dalam Konstituante
Pemilu 1955 menghasilkan “empat besar” yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI, tidak ada yang menang mayoritas. PNI diurutan pertama dengan 22,3% suara, diikuti oleh Masyumi 20,9%, NU 18,4%, dan PKI 16,4% sedangkan sisa 22% terbagi dipartai-partai lainnya.[26] Secara teoritis, hasil pemilu 1955 merupakan Frame of reference tentang konfigurasi awal “papan catur politik Indonesia.[27]
Dikutip oleh Bahtiar Effendi dalam perdebatan tentang dasar ideologi negara, tiga aliran ideologis tampil menonjol: Islam, Pancasila dan Sosial-Politik. Tetapi mengingat pedebatan-perdebatan tentang dasar ideologi yang berlangsung sebelumnya antara para pendukung aliran ideologi Islam dan Pancasila.[28]
Dalam menguraikan perdebatan tentang dasar negara dalam Konstituante beberapa peristiwa  penting  dalam masa 1950-1955 dapat diperhatikan, apabila pada tahun 1945 Soekarno menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 hanya bersifat sementara dan Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat menyusun Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap  dan  sempurna bila suasana  sudah tenteram, namun kenyataan sejarah menggambarkan hal yang berbeda, pada tanggal 27 Januari 1953, bung karno dalam sebuah pidatonya dikalimantan selatan berkata:
“kalau kita dirikan negara berdasarkan Islam, maka banyak daerah-daerah yang penduduk-penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri, misalnya Maluku, Bali, flores, Timor, Kai dan juga Irian Barat yang belum masuk wilayah Indonesia tidak akan mau ikut dalam Republik”[29]

Pidato itu mengagetkan tokoh-tokoh Islam, apalagi Bung Karno pernah memberi janji, pada saat perbincangan di BPUPKI dan PPKI yang menghasilkan kompromi Piagam Jakarta. Berbagai reaksi keras disampaikan oleh para pemimpin Islam terhadap pidato ini, baik dari Masyumi, NU,PSII dan Perti maupun Ormas-orma Islam Lain.[30]
Mohamad Natsir menambahkan bahwa hanya dua alternatif yang dapat dijadikan dasar negara yaitu ideologi Islam atau ideologi sekuler, dengan sebuah kaedah ia menegaskan bahwa Islam dalam kaitannya dengan ibadah semua dilarang kecuali yang diperintahkan, sedangkan yang terkait dengan kehidupan dunia semua dibolehkan kecuali yang dilarang.M. Natsir menawarkan Islam sebagai azas negara bukanlah aksi pembangkangan negara (makar), akan tetapi lebih pada penghidupan demokrasi. Oleh sebab itu dalam pidatonya pada sidang pleno konstituante (12 November 1957) ia menghendaki negara Indonesia ini berazaskan ideologi  Islam. “Negara demokrasi berdasarkan Islam”.[31]
Kelompok  Islam  dalam  majelis  Konstituante  juga menegaskan bahwa Pancasila tidak dapat dibandingkan dengan Islam. Pancasila adalah produk manusia, sedangkan Islam adalah ciptaan Allah. Wakil fraksi Islam lainnya juga memberikan argumentasi yang sangat retoris, Mohammad Natsir misalnya memperingatkan umat, bahwa kalau umat berpindah dari Islam ke Pancaila adalah sama artinya dengan melompat dari bumi tempat berpijak ke ruang hampa tak berhawa. Pernyataan Natsir ini disambut oleh Mononutu dengan pernyataan yang tidak kurang pedasnya dengan menegaskan bahwa dari ideologi Pancasila ke negara Indonesia berdasar agama Islam, bagi umat Kristen adalah ibarat melompat dari bumi yang tenang dan sentosa ke ruang kosong tak berhawa.[32]
Menurut Saoki dalam tulisannya yang berjudul Islam sebagai dasar negara perdebatan dalam PPKI dan Konstitusnt, Perdebatan yang terjadi antara pendukung Pancasila sebagai dasar negara dengan pendukung Islam, pada dasarnya merupakan konfrontasi ideologi, karena masing-masing pihak mengajukan argumentasi yang tajam mengenai keunggulan ideologi yang didukungnya. Pada satu sisi, Pancasila dianggap sebagai platform sejati untuk setiap ideologi yang terdapat di Indonesia dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, dan hanya ideologi Pancasila-lah yang dapat menjamin kesatuan dan  keutuhan masyarakat.
Bagi Hatta sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin sila-sila yang lain, sayangnya pendapat ini dikemukakan Hatta setelah Majelis Konstituante dibubarkan. [33] sebelum Pemilihan Umum 1955 Mohammad Natsir juga pernah mengemukakan pandangan yang mirip dengan pendapat Hatta, dalam pidatonya di muka the Pakistan Institute of World Affairs pada tahun 1952, Natsir berkata:
“Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena penduduknya dan karena pilihan sebab ia menyatakan Islam sebagai agama negara begitu juga Indonesia adalah sebuah negeri Islam karena fakta bahwa Islam diakui sebagai Agama rakyat Indinesia, sekalipun dalam konstitusi kami tidak dengan tegas dinyatakan sebagai Agama negara. Tetapi Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan. Bahkan ia telah menaruh kepercayaan tauhid kepada Tuhan pada tempata teratas dari pancasila- lima prinsip dipegang sebagai dasar etik, moral dan spiritual negara dan bangsa.”[34]

Pendiri tiga partai Islam yang lain, PSII, NU dan Perti terhadap pancasila adalah sejalan dengan Masyumi di konstituante empat partai Islam itu berhasil mengenai pancasila berhasil mengambil satu sikap yang sama menghadapi pihak-pihak lain, tapai alasan penolakan tiga partai tersebut terhadap diambilnya pancasila sebagai dasar negara lebih tidak jelas dibandingkan dengan alasan Masyumi yang diwakili oleh argumentasi Natsir. Misalnya K.H. Masykur dari NU mengemukakan dalam sidang Konstituante bahwa Islam dan Pancasila, keduanya menghendaki negara yang makmurdan bahagia, pemerintah yang demokratis, anti kapitalisme dan imperialisme, agar ekonomi dunia disusun secara kekeluargaan, agar kehidupan rumah tangga bangsa kita bahagia dan mempunyai nilai akhlak yang tinggi.[35]
PSII hanya mengemukakan bahwa Islam itu baik dan cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia, dan PSII bermaksud menjalankan Islam dengan setulus-tulusnya dan sepenuh-penuhnya, agar umat Islam dapat menciptakan suatu dunia Islam yang sejati dan dapat menuntut kehidupan Muslim yang sesungguhnya. Peri hanya menunjuk kepada realitas bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dan menurut keyakinan Islam seorang muslim wajib menjalankan hukum-hukum Islam, baik untuk dirinya maupun untuk masyarakat disekitarnya.[36]
Bung Hatta, misalnya, mengkritik sikap kaku dari golongan Islam dalam Majelis Konstituante yang terus mendesakkan dasar negara Islam bagi Indonesia, padahal mereka tahu kalau pun dipaksakan tidak akan berhasil. Alasan Hatta; aliran yang berpegang kepada Pancasila pendukungnya 52 %, sedangkan aliran yang mendukung negara Islam hanya 48% dalam Majelis Konstituante. Sementara menurut aturan undang-undang yang menjadi dasar Konstituante, suatu usul dalam Konstituante hanya dapat diterima dengan suara 2/3 terbanyak, jadi aliran  yang menuntut negara Islam bagi Indonesia tidak akan dapat mendapai cita-citanya.[37]
Akan tetapi yang disayangkan Hatta, golongan Islam bersikeras memperjuangkan tujuannya dalam Konstituante. Tegas Hatta, alangkah baiknya apabila mereka menunjukan sikap toleransi, setelah mereka berjuang sungguh-sungguh dan kalah suara, mereka tidak meneruskan perjuangan itu dan secara demokrasi menerima kekalahan itu serta mufakat dengan Pancasila sebagai dasar negara.
Isyu lain yang didiskusikan dalam Majelis Konstituante ialah mengenaibentuk pemerintahan yang sesuai dengan realitas sosio-politik Indonesia, dalam masalah ini, perdebatan dalam majelis berjalan lancar tanpa diselingi oleh tingkah pendapat yang berlarut-larut dan panas. Semua fraksi situju dengan republikanisme dalam memilih bentuk pemerintahan.[38]
Tetapi karena golongan Islam terus mendesakkan dasar negara Islam dengan tiada kemungkinan untuk mendapatkan suara 2/3 terbanyak, Presiden Soekarno dengan dukungan tentara membubarkan Konstituante dan mendekritkan kembali UUD 1945. Tindakan ini disetujui oleh DPR yang dipilih pada tahun 1955 dengan suara terbanyak.
Perdebatan tentang dasar negara ini berlangsung sampai dengan rapat yang terakhir pada tanggal 2 Juni 1959 tanpa menghasilkan suatu keputusan.[39] Sebelum Majelis merampungkan tugasnya badan Konstituante dibubarkan oleh Bung Karno lewat Dekrit 5 Juli 1959. Dekrit 5 Juli telah mengakhiri secara formal periode Demokrasi Parlementer yang dimulai secara Konstitusional sejak tahun 1950 di bawah naungan UUD 1950. Sejak 5 Juli 1959, setiap usul tentang dasar negara yang bertujuan mengganti pancasila sebagai konstitutional menjadi tidak mungkin dan tidak dibenarkan, kevuali bila Majelis Permusyawaratan Rakyat pilih rakyat menghendakinya sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945. Teks terlengkap adalah sebagai berikut:

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESI/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Dengan ini menyatakan dengan khidmat:
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar Sementara.
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar Anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan rakyat oleh Rakyat kepadanya:
Hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan  dan kesatuan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur:
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan didirong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpakasa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi;
Bahwa kami meyakinkan bahawa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaina-kesatuan dengan Konstitusi tersebut;
Maka atas dasar-dasar tersebut diatas,

KAMI PERSIDEN REPUBLIK INDONESI/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Menetapkan pembukaan Konstituante;
Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dikrit ini, dan tidak berlaku lagi Undang-undang Dasar sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusandari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di; Jakarta
Pada tanggal: 5 Juli 1959
Atas nama Rakyat Indonesia
PERSIDEN REPUBLIK INDONESI/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG.[40]

Kritik Hatta terhadap golongan Islam itu juga disetujui oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif, bahkan lebih jauh lagi, secara terang-terangan ia  bersyukur bahwa usaha-usaha tokoh-tokoh Islam yang hendak menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia gagal terwujud. Apalagi jika yang dimaksud dengan dasar negara Islam itu dikaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam seperti yang telah dirumuskan para Imam mazhab. Maka yang akan terjadi adalah kesulitan besar untuk menerapkannya pada era modern, sebab semua itu merupakan hasil ijtihad mereka jauh sebelum jatuhnya kekhalifahan Bagdad. Ahmad Syafi’i memberi contoh bagaimana Pakistan yang sejak awal menyatakan diri sebagai Republik Islam, ternyata masih menemui kebingungan bagaimana menerapkan syari’at Islam dalam kehidupan benegara.
Dari  pengalaman  historis  itu, Ahmad Syafi’i menegaskan pendiriannya bahwa usaha-usaha untuk mengubah Indonesia menjadi suatu negara Islam, sekalipun sah menurut Undang-Undang Dasar pada tahun 1950-an merupakan usaha prematur yang tidak realistik karena sebuah fondasi intelektual keagamaan yang kukuh bagi bangunan serupa itu belum lagi diciptakan.[41]
Namun demikian, dalam soal hubungan antara Pancasila dan Islam, Ahmad Syafi’i Ma’arif juga berpendapat  bahwa  Pancasila sebagai falsafat kenegaraan harus bersifat terbuka. Dengan kata lain, bila Pancasila ingin tetap bermakna bagi masyarakat Indonesia, ia harus membuka diri untuk menerima sinar dari agama-agama yang berorientasi pada nilai-nilai transendental yang lebih tinggi. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas pemeluknya beragama Islam. Ahmad Syafi’i mengharapkan agar Islam dijadikan sumber moral bagi pelaksanaan Pancasila, khususnya bagi umat Islam, ini juga berarti bahwa penganut agama lain berhak penuh menyinari Pancasila dengan ajaran agamanya masing-masing.[42]

F.       Sumbangan dalam Keilmuan
Adapun sumbangan keilmuan dalam penelitian ini antara lain:
1.      Karena belum adanya studi yang agak lengkap tentang masalah dasar negara Indonesia ini, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa asing, maka apa yang disajikan dalam penelitian ini diharapkan akan sedikit memberi kejelasan tentang watak dan arti Islam dalam sejarah moderen Indonesia, terutama dalam hubungannya dengan perkembangan dan perubahan polotik di negara ini
2.      Melalui penelitian yang dilakukan Ahmad Syafii Ma’arif dapat memberikn pengetahuan tentang situasi religius- intelektual umat Islama di Indonesia.
3.      Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Nurcholish Manjid bahwa. Ahmad Syafii Maarif telah memberikan jasa kepada umat Islam di Indonesia dalam bentuk rintisan penumbuhan tradisi Islam yang otentik sekaligus kritis.
4.      Dapat dijadikan sebagai reverensi bagi peneliti-peneliti berikutnya.
                                                                                                                                                                             
G.      Kesimpulan
Realita yang terjadi, keberagaman pemeluk Agama di Indonesia menjadikan faktor utama dalam merumuskan konsep dasar Negara, perubahan yang terdapat pada sila pertama di Piagam Jakarta merupakan upaya agar terciptanya persatuan, terkhusus persatuan kehidupan dalam ber-agama, dan juga persatuan dalam ber-Negara. Konsep dasar Negara tersebut merupakan refleksi dari kandungan Islam itu sendiri, yang telah di rumuskan oleh para tokoh Agama Islam dan para tokoh Nasionalis.
Menurut Syafii Maarif Islam membutuhkan instrument yang di sebut Negara. Negara dibutuhkan guna menyokong agama bagi Ahmad Syafi Maarif Negara merupakan alat yang penting bagi agama namun demikian agama (Islam) tidak harus atau di jadikan dasar Negara. Aspirasi politik hendaknya bukan menjadikan Islam sebagai dasar Negara dan memformalisasikan syariat Islam, akan tetapi menjalankan kehidupan atas dasar kebersaman dan bermusyawarah (Syura’).
Munculnya permasalahan politik Islam di Indonesia diawali pada masa perpecahan politik yang terjada pada masa revolusi, dimana organisasi-organisasi Islam memisahkan diri dari Masyumi, sehingga menyebebkan melemahnya kekuatan politik Ummat Islam di Indonesia.
Adapun pandangan Syafii Maarif terhadap perdebatan yang terjadi dalam Konstituante adalah secara terang-terangan ia  bersyukur bahwa usaha-usaha tokoh-tokoh Islam yang hendak menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia gagal terwujud. Apalagi jika yang dimaksud dengan dasar negara Islam itu dikaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam seperti yang telah dirumuskan para Imam mazhab. Maka yang akan terjadi adalah kesulitan besar untuk menerapkannya pada era modern, sebab semua itu merupakan hasil ijtihad mereka jauh sebelum jatuhnya kekhalifahan Bagdad dan beliau menegaskan pendiriannya bahwa usaha-usaha untuk mengubah Indonesia menjadi suatu negara Islam, sekalipun sah menurut Undang-Undang Dasar pada tahun 1950-an merupakan usaha prematur yang tidak realistik karena sebuah fondasi intelektual keagamaan yang kukuh bagi bangunan serupa itu belum lagi diciptakan.
Namun demikian, dalam soal hubungan antara Pancasila dan Islam, Ahmad Syafi’i Ma’arif juga berpendapat  bahwa  Pancasila sebagai falsafat kenegaraan harus bersifat terbuka

H.      Daftar Pustaka
Effendi. Bahtiar. 1998.Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina.
Jurnal Studi Agama, Reformulasi Relasi Agama Negara: Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang Negara dan Syariat Islam di Indonesia , Millah, Vol. X, No. 2, Februari 2011.
Kamal Zainun, Yudi Latif, dkk. 2005.  Islam Negara dan Civil Society. Jakarta: Paramadinah.
Ramadan, Tariq. 2003.Hubungan Islam, Barat dan Modernitas dari Perspektif Islam dan Masyarakat Muslim,cet. Ke-1, Jakarta:Teraju.                                                                                                                                                               
Syafii, Maarif Ahmad. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES
Thoba, Abdul Aziz. 1996. Islam dan Negara; dalam Politik Orde Baru, cet. Ke- 1, Jakarta: Gema Insani Press.
Sjadzali, Munawir. 1993.  Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press.


[1] Adul AzisThaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm 39.
[2] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Massalah Kenegaraan. Hlm. 15
[3] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Massalah Kenegaraan. hlm. 1
[4] Ibid, hlm.1
[5] Ibid, hlm 124
[6] Ibid
[7] Abdul Aziz Thoba, Islam dan Negara; dalam Politik Orde Baru, cet. Ke- 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
[8] Tariq Ramadan, Hubungan Islam, Barat dan Modernitas dari Perspektif Islam dan Masyarakat Muslim,cet. Ke-1, (Jakarta: Teraju, 2003).
[9] Syarufuddin Anshari, The Jakarta Charter of June 1945: A History of the Gentlemen’s Agreement between the Islamic and the Secular Nationalist in Modern Indonesia. tesis M.A.,(Montreal: McGill University, 1976).
[10] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Massalah Kenegaraan. Hlm. 11
[11] Fazlur Rahman, The Islamic Concept of State, “dalam John J. Donuhue and John L, Episto (eds.), Islam in Transition Muslim Perspectives (New York: Oxford University Press, 1982), hlm. 261.
[12] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Massalah Kenegaraan. hlm. 18
[13] Adul AzisThaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. hlm. 32.
[14] Fazlur Rahman, Islam and the state, Makalah yang disajikan pada the Confrence of Religion Conviction and Public Action: The Life of Faith in a Pluralistic World”. The University of Chicago, 2 April 1982, hlm. 2.
[15] Zainun Kamal, Yudi Latif dkk, Islam Negara dan Civil Society, (Jakarta: Pramadinah, 2005), hlm. 77.
[16] Adul AzisThaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, hlm. 110.
[17]  Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Massalah Kenegaraan. Hlm. 124
[18] Ibid.,. Hlm. 127
[19] Konstituanre Repoblik Indonesia, Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante (Bandung:1958), hlm. 373
[20] Jurnal Studi Agama, Reformulasi Relasi Agama Negara: Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang Negara dan Syariat Islam di Indonesia , Vol. X, No. 2, Februari 2011, hlm. 366.
[21] Ibid., hlm 367.
[22] Mohammad Natsir, Some Observations Concerning the Role of Islam in National and International Affairs (Ithaca: Southeast Asia Program, Departemen of Far Eastern Studies, 1954), hal.1.
[23] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Massalah Kenegaraan, hlm. 63
[24] Ibid., hlm 79.
[25] Pimpinam Masyumi Bagian Keuangan, Pedoman perjuangan Masyumi (Jakarta: PP. Masyumi, 1955), hal. 6, artikel 3
[26]  Adul AzisThaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, hlm. 169.
[27] Ibid, 170.
[28]Bahtiar Effendi, Islam dan Negara tranformasi Pemikiran dan Praktik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm.107.
[29] Dikuti dalam Endang Syaifuddin Anshari, op.cit., hlm.74
[30] Ibid. 171
[31] Ibid,  
[32] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Massalah Kenegaraan. Hlm. 158
[33] Ibid, 155
[34]Ahmad Syafi’i Ma’arif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan, I55: Mohammad Natsir, Some Observations Concerning the Roleof Islam in National and International Affairs, (Ithaca: Southeast Asia Program, Departemen of Far Eastern Studies, 1954), hlm.1.
[35] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm.198
[36] Ibid, hlm. 198-199.
[37] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Studi tentang Percaturan dalam Konstitu ante: Islam dan Masalah Kenegaraan, 153-154; Moh. Hatta, Menuju Negara Hukum (Jakarta: Idayu Press, 1977), 15-16.
[38] IbIid, hlm.165.
[39] Adul AzisThaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, hlm. 173.
[40] Ibid. Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, hlm. 178. :Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi, 2 jilid (Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Revolusi, 1964), 2: 358-359.
[41] Ibid, hlm.9.
[42] Ahmaf Syafi’i Ma’arif, ‘Piagam Madinah dan Konvergensi Sosial’, (Pesantren No. 3, Vol. VIII, 1986), 21-22